- Perkuat Usaha Mustahik, BAZNAS Dukung Cici Lewat Bantuan Freezer untuk Gerai Z-Chicken
- Inovasi Petani Mustahik di Teluknaga: Bukti Peran Strategis BAZNAS dalam Pemberdayaan Umat
- Kurban, Ibadah yang Dianjurkan di Bulan Zulhijah
- Sejarah dan Tujuan Ibadah Kurban Menurut Sejarah Islam
- Bantuan BAZNAS Ubah Nuraena Jadi Mustahik Saudagar Ayam Krispi
- BAZNAS Bali dan Komunitas Kemanusiaan Bantu Tangani Jenazah Telantar
- Kemenag NTB Luncurkan Wakaf Berbasis QRIS
- Rumah Zakat Ikut Meriahkan Hari Kesiapsiagaan Bencana 2025
- LAZISNU Pati Bantu Korban Puting Beliung
- LAZISNU Sidoarjo Kembali Distribusikan Bantuan Modal UMKM
Pecahnya Persatuan:Perang Hati di Antara Sahabat pedekar Indonesia (10)
Oleh : Mosyolla Azzahra

Keterangan Gambar : Meta AI
Hutan yang hening itu kini terasa semakin berat.
Keheningan yang sebelumnya menenangkan, kini berubah menjadi jurang kesepian yang dalam. Zaki, yang kini menjauh dari kedua sahabatnya, berjalan dengan langkah yang berat, matanya menatap kosong ke arah depan. Perasaan bingung dan kecewa begitu mendalam. Baru saja dia kembali dari penjara, bertahan hidup melalui penderitaan yang tak terbayangkan, tetapi kini persahabatan yang telah ia jalin selama ini—persahabatan yang menjadi kekuatannya—hancur karena perpecahan yang sengaja ditanamkan oleh musuh.
"Mengapa mereka melakukan ini?" Zaki bergumam pada dirinya sendiri. "Aku tahu mereka tidak akan pernah mengkhianatiku, jadi kenapa aku merasa seperti ini? Kenapa aku harus mempercayai kebohongan itu?"
Zaki berjalan tanpa arah, melupakan waktu dan jarak. Ada rasa sepi yang sangat dalam di hatinya. Tidak ada lagi suara tawa Ara atau canda Fatea. “Apakah aku bisa terus berjuang tanpa mereka?” pikirnya. “Indonesia butuh pemimpin. Aku harus bisa menghadapinya sendirian.”
Baca Lainnya :
- Di Ambang Kematian:Pahlawan Indonesia yang Menentang Penjajah (9)0
- Kebangkitan Indonesia: Ketika Kemerdekaan Terancam Kembali (8)0
- Kemenangan yang Menipu: Perang Belum Berakhir (7)0
- Bara di Hutan Merdeka: Perang yang Mencabik Republik? (6)0
- Senandung Takbir Air Mata Dira0
Namun, meski Zaki berusaha meyakinkan dirinya bahwa dia bisa berjuang seorang diri, hatinya tetap merindukan kedua sahabat yang telah berjuang bersamanya. Hanya saja, kebohongan yang beredar kini telah merusak segalanya. Zaki merasa tertipu, merasa dikhianati. “Bagaimana aku bisa mempercayai mereka lagi?”
Sementara itu, di sisi lain hutan, Fatea dan Ara berlari mengejar Zaki. Mereka tahu bahwa Zaki telah pergi dengan hati yang terluka dan penuh amarah. Mereka juga mendengar kebohongan yang disebarkan oleh Belanda, dan merasa bingung dan hancur. Ara merasakan sesak di dadanya, sedangkan Fatea berjalan dengan cepat, berusaha untuk menjaga perasaan mereka berdua tetap kuat.
"Fatea, bagaimana kita bisa menjelaskan semuanya pada Zaki?" Ara bertanya dengan cemas. "Aku tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Kami sudah pernah melewati begitu banyak bersama, tetapi sekarang dia merasa kami berkhianat padanya."
Fatea menghela napas panjang. "Aku tahu. Aku juga merasakan hal yang sama, Ara. Tidak ada yang lebih sulit dari berjuang bersama teman, dan sekarang kami hampir berperang melawan satu sama lain. Kita harus segera menemukan Zaki dan memberinya penjelasan."
Namun, meskipun mereka berusaha mencari Zaki, jarak yang semakin jauh antara mereka dan Zaki membuat upaya pencarian itu semakin sulit. Mereka juga harus berhati-hati dengan keberadaan pasukan Belanda yang selalu mengintai mereka, memperparah situasi yang semakin mendesak.
Di tempat lain, Zaki akhirnya berhenti di sebuah lembah terpencil. Dia duduk di atas batu besar, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Semakin lama dia merenung, semakin banyak keraguan yang muncul dalam pikirannya. “Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mempercayai mereka lagi?” pikirnya. “Mereka tidak mungkin berkhianat pada perjuangan kita. Aku yang salah. Aku harus menemukan cara untuk kembali ke jalan yang benar.”
Namun, tiba-tiba Zaki mendengar langkah kaki yang mendekat. Dengan cepat, dia meraih pedangnya dan bersiap menghadapi siapa pun yang datang. "Siapa itu?!" Zaki berseru, siap menghadapi serangan apapun.
"Zaki, jangan! Ini kami, Ara dan Fatea!" suara Ara terdengar dari kejauhan.
Zaki terkejut. “Ara? Fatea?” Dalam kebingungannya, Zaki menurunkan pedangnya dan berdiri dari batu besar itu. “Kalian datang? Apa kalian benar-benar percaya aku bisa mempercayai kalian lagi?”
Ara dan Fatea berhenti beberapa langkah di depannya. Fatea menatap Zaki dengan tatapan penuh penyesalan. “Zaki, kami tidak pernah mengkhianatimu. Itu semua bohong. Kami tidak tahu bagaimana kebohongan itu bisa menyebar. Kami hanya ingin membantu, bukan membuat semuanya semakin buruk.”
Zaki menatap mereka tajam, masih penuh keraguan. "Kalian pikir begitu mudah untuk memperbaiki semua ini? Kalian tahu betul betapa besar harga yang harus dibayar untuk sebuah pengkhianatan."
Fatea melangkah maju dengan hati-hati, matanya penuh dengan kesedihan dan harapan. "Kami semua terjebak dalam perangkap musuh. Mereka tahu bahwa kita adalah kekuatan yang tak bisa dihancurkan jika kita tetap bersatu. Mereka memanfaatkan kita satu per satu, Zaki. Mereka menebarkan kebohongan untuk memecah belah kita. Kita tidak bisa biarkan itu terjadi."
Zaki menghela napas panjang, merasakan betapa dalamnya rasa sakit yang ia rasakan. "Tapi... jika kalian benar-benar tidak berkhianat, mengapa kalian tidak memberitahuku sebelumnya? Mengapa aku harus mendengarnya dari musuh?"
Ara maju dan menepuk bahu Zaki. “Karena kami tidak ingin menyakiti perasaanmu, Zaki. Kami tahu bahwa kamu berjuang keras untuk kita semua. Kami juga tahu bahwa kamu selalu memilih jalan yang paling sulit, namun terkadang kita juga harus tahu kapan harus berkompromi dan mendengarkan.”
Fatea mengangguk setuju. “Kita semua berjuang dengan cara kita sendiri. Namun, tujuan kita tetap sama—kemerdekaan Indonesia. Kita harus kembali bersatu, Zaki. Itu yang penting.”
Zaki menatap kedua sahabatnya, hatinya bergejolak. "Aku... aku benar-benar terluka. Tapi jika kalian masih di sini, jika kita masih bisa bersama, mungkin aku bisa memaafkan dan melanjutkan perjuangan ini."
Akhirnya, Zaki merentangkan tangannya, membuka jalan untuk perdamaian di antara mereka bertiga. "Kita harus lebih kuat dari kebohongan mereka. Kita harus kembali bersatu, untuk Indonesia."
Ketiga sahabat itu berpelukan erat. Mereka tahu bahwa ujian ini belum selesai, dan perjuangan mereka masih panjang. Namun, yang mereka pelajari dari pertempuran ini adalah bahwa persahabatan mereka lebih kuat daripada apapun—termasuk kebohongan dan perpecahan yang dibuat oleh musuh.