- Studi Kasus Zakat Profesi atau Zakat Penghasilan (Bagian IV-Habis)
- Strategi Pengeloaan Zakat Dalam Pemberdayaan Umat (Bagian IV-Habis)
- Strategi Pengeloaan Zakat Dalam Pemberdayaan Umat (Bagian III)
- Studi Kasus Zakat Profesi atau Zakat Penghasilan (Bagian III)
- Strategi Pengeloaan Zakat Dalam Pemberdayaan Umat (Bagian II)
- Digital Experience dalam Perbankan Syariah (Bagian III-Habis)
- Studi Kasus Zakat Profesi atau Zakat Penghasilan (Bagian II)
- Pemerintah Libatkan Pengusaha dan Filantroper Percepat Penyaluran Bansos
- Strategi Pengeloaan Zakat Dalam Pemberdayaan Umat (Bagian I)
- Digital Experience dalam Perbankan Syariah (Bagian II)
Studi Kasus Zakat Profesi atau Zakat Penghasilan (Bagian III)
https://core.ac.uk/download/pdf/267962473.pdf

Keterangan Gambar : Asisten AI
Penulis: Ikbal Baidowi (UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten)
Penjelasan ayat QS. Al-Baqarah 267 adalah:
Kata “ما” adalah termasuk kata yang mengandung pengertian yang umum, yang artinya apa saja, sebagian dari hasil (apa saja) yang kamu usahakan yang baik-baik. Maka jelaslah, bahwa semua macam penghasilan (gaji, honorarium, dll) terkena wajib zakat berdasarkan ketentuan QS. Al –Baqarah : 267 tersebut yang mengandung pengertian yang umum, asal penghasilan tersebut telah melebihi kebutuhan pokok hidupnya dan keluarganya (sandang, pangan, papan, beserta alat-alat rumah tangga, alat-alat kerja atau usaha, kendaraan, dan lain-lain yang tidak bisa diabaikan), bebas dari beban hutang, telah genap setahun kepemilikannya dan telah mencapai nishab. Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilalil Qur'an, menafsirkan surat al-Baqarah:267, bahwa nash tersebut mencakup seluruh hasil usaha manusia yang baik dan halal dan mencakup pula seluruh yang dikeluarkan Allah SWT dari dalam dan atas bumi, baik yang terdapat di zaman Rasulullah SAW., maupun di zaman sesudahnya.
Baca Lainnya :
- Strategi Pengeloaan Zakat Dalam Pemberdayaan Umat (Bagian II)0
- Digital Experience dalam Perbankan Syariah (Bagian III-Habis)0
- Studi Kasus Zakat Profesi atau Zakat Penghasilan (Bagian II)0
- Strategi Pengeloaan Zakat Dalam Pemberdayaan Umat (Bagian I)0
- Digital Experience dalam Perbankan Syariah (Bagian II)0
Sedangkan menurut Syarifuddin (1987) menjelaskan bahwa penggunaan kata "Maa" dalam ayat tersebut di atas adalah mencakup segala apa-apa yang diperoleh melalui hasil usaha atau jasa, dan juga apa-apa yang dikeluarkan atau diusahakan dari bumi. Dengan argumentasi bahwa kekuatan lafadz umum terhadap semua satuan pengertian yang tercakup di dalamnya secara pasti, sebagaimana penunjukkan lafadz khusus terhadap arti yang terkandung di dalamnya. Penggunaan lafadz umum untuk semua satuan pengertian ini berlaku sampai ada dalil lain yang membatasinya. Hamid (2005) juga mengatakan bahwa kata dalam ayat tersebut memberikan legitimasi terhadap semua jenis usaha dan profesi yang dimiliki yang kesemuanya mendatangkan penghasilan yang cukup banyak, seperti pengacara, dokter ahli, jasa perhotelan, jasa penginapan, dan sebagainya.
Kemudian dalam Surat at-Taubah :103 juga dinyatakan:
خُذ ۡ مِه ۡ أَم ۡ ىََٰ لِهِم ۡ صَدَقَةٗ تُطَهِّزُهُم ۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيۡهِم ِۡۖ إِن َّ صَلَى َٰ تَكَ سَكَه ٞ
١٠٣
لَّهُم ۡۗۡ وَٱللَّ َّ ُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya: "Ambillah sedekah (zakat) dari sebagian harta mereka, dengan sedekah itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo’alah Untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (at-Taubah :103)
Penjelasan ayat QS. At-Taubah: 103 sebagai berikut:
Makna terminologi generik ayat tersebut menunjuk pada harta kekayaan, tidak menunjuk dari mana harta itu diperoleh (usaha) yang bernilai ekonomi, dan karena spektrumnya lebih bersifat umum, maka di dalamnya termasuk jasa/gaji yang secara rasional adalah bagian dari harta kekayaan, sehingga wajib dikeluarkan zakatnya.Selanjutnya dengan dasar as-Sunnah untuk mengukuhkan kewajiban zakat profesi, berdasarkan pada keumuman makna hadits. Yang antara lain hadits yang di riwayatkan oleh al-Bukhari sebagai berikut:
“Setiap orang muslim wajib bersedekah, Mereka bertanya: “Wahai Nabi Allah, bagaimana yang tidak berpunya?, Nabi menjawab:” Bekerjalah untuk mendapat sesuatu untuk dirinya, lalu bersedekah”. Mereka bertanya kembali: ”Kalau tidak mempunyai pekerjaan?, Nabi menjawab: “Kerjakan kebaikan dantinggalkan keburukan, hal itu merupakan sedekah.” (H.R Bukhari)
Yusuf Qardlawi menafsirkan keumuman dari makna hadits tersebut di atas bahwa zakat wajib atas penghasilan sesuai dengan tuntunan Islam yang menanamkan nilai-nilai kebaikan, kemauan, berkorban, belas kasihan, dan suka memberi dalam jiwa seorang muslim. Untuk itu nabi mewajibkan pada setiap muslim mengorbankan sebagian harta penghasilannya atau apa saja yang bisa ia korbankan. Adapun dalam hal qiyas, wajibnya zakat profesi diqiyaskan pada tindakan khalifah Mu’awiyah yang mengenakan zakat atas pemberian menurut ukuran yang berlaku dalam negara Islam, karena beliau adalah khalifah dan penguasa umat Islam. Dan perbuatan khalifah Umar Ibnu Abdul Aziz yang memungut zakat pemberian (u'tiyat) dan hadiah. Juga memungut zakat dari para pegawainya setelah menerima gaji, serta menarik zakat dari orang yang menerima barang sitaan (mazalim) setelah dikembalikan kepadanya.
Menurut para Imam Madzhab terjadi perbedaan pendapat. Menurut Imam Syafi’i, zakat penghasilan tidak wajib zakat meskipun ia memiliki harta sejenis yang sudah cukup nishab. Tetapi ia mengecualikan anak-anak binatang piaraan, di mana anak-anak binatang itu tidak dikeluarkan zakatnya bersamaan dengan zakat induknya yang sudah mencapai nishab.
Dan bila belum mencapai nishab, maka tidak wajib zakatnya. Dalam kitabnya al- Umm, Imam Syafi’i mengatakan apabila seseorang menyewakan rumahnya kepada orang lain dengan harga 100 dinar selama 4 tahun dengan syarat pembayarannya sampai batas waktu tertentu, maka apabila ia telah mencapai satu tahun, ia harus mengeluarkan zakatnya untuk 25 dinar pada satu tahun pertama dan membayar zakat untuk 50 dinar pada tahun kedua, dengan memperhitungkan uang 25 dinar yang telah Dikeluarkan zakatnya pada tahun pertama dan seterusnya, sampai ia mengeluarkan zakatnya dari 100 dinar dengan memperhitungkan zakat yang telah dikeluarkan, baik sedikit atau banyak.
Menurut Imam Malik, harta penghasilan tidak dikeluarkan zakatnya kecuali sampai penuh waktu setahun. Baik harta tersebut sejenis dengan harta yang ia miliki atau tidak, kecuali jenis binatang piaraan. Karena orang yang memperoleh penghasilan berupa binatang piaraan yang sejenis dan sudah mencapai nishab, maka ia harus mengeluarkan zakat dan keseluruhan binatang itu apabil sudah genap satu tahun. Dan apabila kurang dari satu nishab, maka tidak wajib zakat.
Dalam suatu kasus tentang seseorang yang memiliki 5 dinar hasil dari sebuah transaksi, yang kemudian ia investasikan dalam perdagangan, maka begitu jumlahnya meningkat pada jumlah yang harus dibayarkan zakat dan satu tahun telah berlalu dari transaksi pertama, menurut Imam Malik ia harus membayar zakat meskipun jumlah yang harus dizakatkan itu tercapai satu hari sebelum ataupun sesudah satu tahun. Karena itu, tidak ada zakat yang harus dibayarkan sejak hari zakat diambil (oleh pemerintah) sampai dengan waktu satu tahun telah melewatinya.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa harta penghasilan itu dikeluarkanzakatnya bila mencapai masa satu tahun penuh pada pemiliknya kecuali jika pemiliknya mempunyai harta sejenis yang harus dikeluarkan. zakatnya, yang untuk itu zakat harta penghasilan. Dari beberapa dalil dan pendapat- pendapat tersebut di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa wajibnya zakat profesi didasarkan pada surat al-Baqarah: 267 yang bersifat umum dan hadits-hadits yang bersifat umum pula, baik keumumannya menyangkut materi hasil usaha, apakah yang diperoleh dari perdagangan, investasi modal, honorarium, gaji, dan sebagainya.
Atau keumumannya dari segi waktu yang tidak membatasi harus sudah satu tahun pemilikan harta Untuk menetapkan teknis penerapan ketentuan zakat profesi mulai dari nishab, kadar, dan waktunya menggunakan dalil qiyas (analogical reasoning). Sudah barang tentu menggunakan dalil qiyas sebagai dalil syar’i, harus memenuhi syarat dan rukunnya agar menemukan hukum ijtihadi yang aktual dan proporsional.
