Air Mata di Balik Sedekah Seorang Nenek
Wanda Chan

By Yudhiarma 20 Agu 2025, 11:38:37 WIB Cerpen
Air Mata di Balik Sedekah Seorang Nenek

Keterangan Gambar : Foto: Asistensi AI


Senja itu turun perlahan di sebuah kampung pinggir kota. Angin membawa bau tanah basah, sementara matahari meredup di balik pepohonan. Hasan, seorang mahasiswa jurusan ekonomi syariah, berjalan pulang dari masjid dengan pikirannya penuh. Ia sedang mendapat tugas kuliah: meneliti praktik filantropi Islam di masyarakat.

Namun, di kampungnya yang sederhana, ia tidak melihat lembaga zakat besar atau donatur kaya. Yang ada hanya pedagang kecil, petani, dan penjual sayur di pasar. Hasan mengeluh dalam hati, “Bagaimana aku bisa menemukan praktik filantropi di sini?”

Hari itu, langkahnya terhenti di depan sebuah rumah reyot dari anyaman bambu. Di teras kecil, seorang nenek tua dengan tubuh rapuh sedang sibuk merajut tikar pandan. Tangannya bergetar, namun tetap sabar menyusun helai demi helai.

Baca Lainnya :

Hasan menyapanya, “Assalamu’alaikum, Nek. Sedang buat tikar?”

“Wa’alaikumussalam, Nak,” jawabnya dengan senyum hangat. “Iya, beginilah. Kalau selesai satu, bisa kujual dua puluh ribu. Lumayan buat beli beras.”

Hasan terdiam. Dari kerutan wajahnya, jelas nenek itu hidup pas-pasan. Tiba-tiba ia teringat tugas kuliah dan bertanya, “Nek, kalau penghasilan seadanya, apa masih bisa bersedekah?”

Nenek itu tersenyum samar. “Nak, sedekah bukan soal besar kecilnya. Kalau aku menjual tikar, sebagian hasilnya kupakai membeli gula. Lalu gula itu kubagi ke anak-anak tetangga. Supaya mereka senang belajar mengaji. Mungkin hanya sejumput, tapi kalau niatnya karena Allah, itu tetap sedekah.”

Air mata Hasan menetes. Ia merasa malu. Selama ini ia selalu berpikir sedekah harus berupa uang banyak, zakat besar, atau donasi melalui lembaga resmi. Padahal, seorang nenek renta dengan penghasilan minim justru istiqamah berbagi.

Malam berikutnya, hujan deras mengguyur kampung. Angin kencang menerpa, atap rumah nenek itu pun roboh. Hasan berlari membantu bersama warga. Mereka mendapati sang nenek hanya duduk di pojok rumah, memeluk tikar-tikarnya, sambil berulang kali berucap, “Alhamdulillah, aku masih selamat.”

Hasan tak kuasa menahan tangis. Bagaimana mungkin orang yang hidup sesulit itu masih mampu bersyukur?

Esoknya, Hasan menggalang dana di kampus. Ia menceritakan kisah nenek itu pada teman-temannya. Ada yang menyumbang uang, ada yang membawa semen, ada yang memberikan kayu. Mereka datang berbondong-bondong ke kampung, membangun kembali rumah nenek itu.

Seminggu kemudian, rumah itu berdiri kokoh. Saat atap terakhir dipasang, nenek itu menangis. Air matanya jatuh membasahi pipi keriput.

“Ya Allah… aku hanya memberi gula sejumput, Kau balas dengan rumah baru. Betapa pemurah Engkau, ya Rabb,” ucapnya lirih.

Hasan menggenggam tangan nenek itu. “Nek, engkau sudah mengajarkan kami arti sedekah. Ternyata yang kecil, bila ikhlas, bisa menumbuhkan kebaikan yang besar.”

Nenek menatapnya penuh kasih. “Nak, sedekah itu seperti menanam benih. Meski kecil, kalau ditanam dengan ikhlas, ia akan tumbuh menjadi pohon yang menaungi banyak orang. Kau sudah melihat buktinya hari ini.”

Sejak saat itu, Hasan tidak lagi melihat filantropi Islam hanya sebagai teori di buku. Ia merasakannya hidup dalam sosok seorang nenek miskin, yang dengan sejumput gula mampu menggerakkan hati banyak orang.

Dan di wajah nenek yang basah oleh air mata syukur itulah, Hasan menemukan jawaban:
Filantropi Islam bukan tentang seberapa banyak kita memberi, tapi seberapa tulus kita menumbuhkan harapan di hati sesama.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment