- Laznas WIZ Salurkan Mushaf Al-Quran dan Buku Iqra
- Bantu Warga Dhuafa, Target Zakat di Jawa Barat Ditingkatkan
- Solopeduli Berbagi Mushaf Baru untuk Rumah Tahfiz Quran
- Rumah Yatim Bantu Biaya Hidup Lansia Prasejahtera di Garut
- Perkuat Sinergi, NPC Perpanjang Kerja Sama MPZ dengan DT Peduli
- Generasi Unggul, PYI Dukung Program Kampung Zakat Tasikmalaya
- WIZ Parigi Salurkan Paket Alat Tulis untuk Anak Pedalaman Sirombiu
- Pembinaan Mustahik RSP IZI Jakarta: Menguatkan Hati dengan Syukur dan Sabar
- Ingin Sukses Jadi Hafiz Quran, Beasiswa OTA Solopeduli Bantu Raditya Bersekolah
- Ekspedisi Kemerdekaan Rumah Zakat untuk Peduli Pendidikan Anak Dusun Balocci
Air Mata di Balik Sedekah Seorang Nenek
Wanda Chan
.png)
Keterangan Gambar : Foto: Asistensi AI
Senja itu turun perlahan di sebuah kampung pinggir kota. Angin membawa bau
tanah basah, sementara matahari meredup di balik pepohonan. Hasan, seorang mahasiswa jurusan ekonomi syariah,
berjalan pulang dari masjid dengan pikirannya penuh. Ia sedang mendapat tugas
kuliah: meneliti praktik filantropi Islam di masyarakat.
Namun, di kampungnya yang sederhana, ia tidak
melihat lembaga zakat besar atau donatur kaya. Yang ada hanya pedagang kecil,
petani, dan penjual sayur di pasar. Hasan mengeluh dalam hati, “Bagaimana aku bisa menemukan praktik filantropi di
sini?”
Hari itu, langkahnya terhenti di depan sebuah rumah reyot dari anyaman
bambu. Di teras kecil, seorang nenek tua dengan tubuh rapuh sedang sibuk
merajut tikar pandan. Tangannya bergetar, namun tetap sabar menyusun helai demi
helai.
Baca Lainnya :
- Ketika Cinta Tanah Air Menjadi Sedekah untuk Bumi0
- Reinkarnasi Bandung Lautan Api0
- Tiga Malam untuk Selembar Merah Putih0
- Nasi Bungkus Lauk Mewah0
- Jejak di Antara Dua Takdir0
Hasan menyapanya, “Assalamu’alaikum, Nek.
Sedang buat tikar?”
“Wa’alaikumussalam, Nak,” jawabnya dengan
senyum hangat. “Iya, beginilah. Kalau selesai satu, bisa kujual dua puluh ribu.
Lumayan buat beli beras.”
Hasan terdiam. Dari kerutan wajahnya, jelas
nenek itu hidup pas-pasan. Tiba-tiba ia teringat tugas kuliah dan bertanya,
“Nek, kalau penghasilan seadanya, apa masih bisa bersedekah?”
Nenek itu tersenyum samar. “Nak, sedekah bukan
soal besar kecilnya. Kalau aku menjual tikar, sebagian hasilnya kupakai membeli
gula. Lalu gula itu kubagi ke anak-anak tetangga. Supaya mereka senang belajar
mengaji. Mungkin hanya sejumput, tapi kalau niatnya karena Allah, itu tetap
sedekah.”
Air mata Hasan menetes. Ia merasa malu. Selama
ini ia selalu berpikir sedekah harus berupa uang banyak, zakat besar, atau
donasi melalui lembaga resmi. Padahal, seorang nenek renta dengan penghasilan
minim justru istiqamah berbagi.
Malam berikutnya, hujan deras mengguyur kampung. Angin kencang menerpa, atap
rumah nenek itu pun roboh. Hasan berlari membantu bersama warga. Mereka
mendapati sang nenek hanya duduk di pojok rumah, memeluk tikar-tikarnya, sambil
berulang kali berucap, “Alhamdulillah, aku
masih selamat.”
Hasan tak kuasa menahan tangis. Bagaimana
mungkin orang yang hidup sesulit itu masih mampu bersyukur?
Esoknya, Hasan menggalang dana di kampus. Ia
menceritakan kisah nenek itu pada teman-temannya. Ada yang menyumbang uang, ada
yang membawa semen, ada yang memberikan kayu. Mereka datang berbondong-bondong
ke kampung, membangun kembali rumah nenek itu.
Seminggu kemudian, rumah itu berdiri kokoh. Saat atap terakhir dipasang,
nenek itu menangis. Air matanya jatuh membasahi pipi keriput.
“Ya Allah… aku hanya memberi gula sejumput,
Kau balas dengan rumah baru. Betapa pemurah Engkau, ya Rabb,” ucapnya lirih.
Hasan menggenggam tangan nenek itu. “Nek,
engkau sudah mengajarkan kami arti sedekah. Ternyata yang kecil, bila ikhlas,
bisa menumbuhkan kebaikan yang besar.”
Nenek menatapnya penuh kasih. “Nak, sedekah
itu seperti menanam benih. Meski kecil, kalau ditanam dengan ikhlas, ia akan
tumbuh menjadi pohon yang menaungi banyak orang. Kau sudah melihat buktinya
hari ini.”
Sejak saat itu, Hasan tidak lagi melihat filantropi Islam hanya sebagai
teori di buku. Ia merasakannya hidup dalam sosok seorang nenek miskin, yang
dengan sejumput gula mampu menggerakkan hati banyak orang.
Dan di wajah nenek yang basah oleh air mata
syukur itulah, Hasan menemukan jawaban:
Filantropi Islam bukan tentang seberapa banyak kita
memberi, tapi seberapa tulus kita menumbuhkan harapan di hati sesama.