- Studi Kasus Zakat Profesi atau Zakat Penghasilan (Bagian IV-Habis)
- Strategi Pengeloaan Zakat Dalam Pemberdayaan Umat (Bagian IV-Habis)
- Strategi Pengeloaan Zakat Dalam Pemberdayaan Umat (Bagian III)
- Studi Kasus Zakat Profesi atau Zakat Penghasilan (Bagian III)
- Strategi Pengeloaan Zakat Dalam Pemberdayaan Umat (Bagian II)
- Digital Experience dalam Perbankan Syariah (Bagian III-Habis)
- Studi Kasus Zakat Profesi atau Zakat Penghasilan (Bagian II)
- Pemerintah Libatkan Pengusaha dan Filantroper Percepat Penyaluran Bansos
- Strategi Pengeloaan Zakat Dalam Pemberdayaan Umat (Bagian I)
- Digital Experience dalam Perbankan Syariah (Bagian II)
Strategi Pengeloaan Zakat Dalam Pemberdayaan Umat (Bagian III)
Sumber: https://locus.rivierapublishing.id

Keterangan Gambar : Foto: Asisten AI
Penulis: 1) Ervina Rahmawati, 2) Yuni
Pujiati, 3) Laila Turahmi, 4) Aji Pangestu, 5) Maya Panorama (UIN Raden Fatah)
2. Sistem Pengelolaan Zakat di Indonesia
Dalam pengelolaan zakat di Indonesia terdapat beberapa kategori sistem pengelolaan, salah satunya adalah sistem sukarela (voluntary system), yaitu wewenang pengelolaan zakat berada di tangan pemerintah maupun masyarakat sipil, serta tidak terdapat sanksi hukum bagi siapa saja yang tidak menunaikan kewajiban zakat. Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2011 di Indonesia terdapat dua jenis Organisasi Pengelola Zakat (OPZ), yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sebagai pengelola zakat yang diurus oleh pemerintah, dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang pengelolaannya diurus oleh masyarakat sipil. Keduanya terintegrasi serta bersinergi dalam proses penghimpunan, pengelolaan, dan pendistribusian zakat (Sarmada & Candrakusuma, 2021).
Model pengelolaan zakat melalui dua OPZ, yakni BAZNAS dan LAZ, merupakan bentuk ideal pengelolaan zakat yang memiliki latar belakang kuat secara sosio-historis keindonesiaan, serta diperkuat oleh dasar ideologis negara dan pandangan normatif MUI terkait amil zakat (Sarmada & Candrakusuma, 2021).
UU No. 23 Tahun 2011 memunculkan polemik di kalangan para penggiat zakat nasional terkait konsep sentralisasi dan desentralisasi dalam proses pengelolaan zakat di Indonesia. Kedua konsep tersebut pernah diimplementasikan dalam sejarah Islam. Pada aspek tertentu, undang-undang zakat memperlihatkan sistem yang tersentralisasi dengan baik, namun di sisi lain kerap kali menunjukkan desentralisasi.
Baca Lainnya :
- Studi Kasus Zakat Profesi atau Zakat Penghasilan (Bagian III)0
- Strategi Pengeloaan Zakat Dalam Pemberdayaan Umat (Bagian II)0
- Digital Experience dalam Perbankan Syariah (Bagian III-Habis)0
- Studi Kasus Zakat Profesi atau Zakat Penghasilan (Bagian II)0
- Strategi Pengeloaan Zakat Dalam Pemberdayaan Umat (Bagian I)0
Akan tetapi, yang lebih tepat adalah pemerintah melalui UU tersebut merekonstruksi OPZ dengan cara melakukan integrasi dan sinergi antara BAZNAS dan LAZ. Hal ini merupakan upaya membentuk bangunan pengelolaan zakat nasional dengan menciptakan koordinasi yang baik antaroperator pengelola zakat, menyusun regulasi operasional serta pengawasan yang efektif dalam proses pengumpulan dan penyaluran ZIS, serta meningkatkan peran OPZ dalam mengentaskan kemiskinan (Sarmada & Candrakusuma, 2021).
Menurut Sufiyah & Rohman (2020), dalam pengelolaan zakat yang ideal dibutuhkan strategi yang benar-benar baik sehingga mencerminkan lembaga amil zakat yang memiliki kemampuan teknis dan ilmiah untuk mencapai tujuannya. Sedangkan manajemen merupakan tuntutan dalam pengaturan kehidupan masyarakat. Manajemen adalah pekerjaan intelektual yang dilakukan manusia dalam hubungannya dengan organisasi bisnis, ekonomi, sosial, maupun lainnya (Ansori, 2018). Dengan titik fokus pada strategi manajemen zakat lembaga amil zakat, maka akan lebih mudah mencapai tujuan dalam mendayagunakan dana masyarakat.
Manajemen zakat pada lembaga amil zakat mencakup penggalangan dan penyaluran dana zakat. Kegiatan ini sangat penting bagi pengelola zakat dalam mendukung jalannya program serta operasional agar dapat mencapai maksud dan tujuan organisasi. Setiap organisasi akan melakukan beberapa hal seperti perencanaan, pengelolaan, penghimpunan, penyaluran, serta pengawasan dengan berbagai strategi yang ada, dengan tujuan agar hasil yang diperoleh lebih optimal.
Oleh karena itu, sebuah lembaga amil zakat harus memiliki manajemen yang terus dikembangkan, baik dalam struktur, operasional, pengawasan, evaluasi, maupun program, dengan memanfaatkan perspektif manajemen modern.
Manajemen zakat merupakan proses kegiatan melalui kerja sama dengan
orang lain dalam rangka pendayagunaan zakat sebagai pilar kekuatan ekonomi
serta sarana peningkatan kesejahteraan dan pencerdasan umat Islam. Menurut
Istiqomah (2021), manajemen pendayagunaan zakat di antaranya:
a. Menyelenggarakan program layanan mustahik, baik dalam bentuk bantuan
konsumtif maupun produktif.
b. Menjalin kerja sama dengan lembaga lain untuk membuat program
unggulan di bidang pendidikan dan dakwah.
c. Menjalin kerja sama dengan beberapa lembaga lain untuk menciptakan program unggulan dalam bidang ekonomi.
Sedangkan pengertian zakat itu sendiri sudah jelas, yakni harta yang
wajib disisihkan oleh seorang muslim atau suatu badan yang dimiliki orang
muslim (muzakki) sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang
berhak menerimanya (mustahik). Oleh karena itu, teori manajemen zakat sangat
dibutuhkan, sebagaimana disampaikan dalam Q.S. At-Taubah [9]:103, untuk
menginspirasi pengelolaan zakat agar dapat benar-benar tersalurkan kepada yang
berhak. Dengan demikian, manajemen zakat menjadi acuan penting bagi badan amil
zakat maupun lembaga amil zakat dalam mengelola dana zakat (Ratno, 2019).
Lembaga Pengelola Zakat
Di Indonesia terdapat dua
bentuk kelembagaan pengelolaan zakat yang diakui oleh pemerintah, yaitu Badan
Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Keduanya berada dalam payung
hukum pemerintah, yakni UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 381 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan UU
No. 38 Tahun 1999, serta Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
dan Urusan Haji tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Dengan adanya payung
hukum tersebut, keberadaan lembaga zakat sudah mendapatkan jaminan dan
perlindungan dari pemerintah (Djubedi, 2015).
Oleh karena itu, kini
telah banyak didirikan lembaga-lembaga amil zakat oleh organisasi keagamaan
maupun sosial kemasyarakatan, seperti LAZISNU, Dompet Dhuafa Republika, dan
lain sebagainya. Kondisi ini merupakan perkembangan yang sangat baik, karena
mampu mendorong pertumbuhan zakat sebagai sarana pemberdayaan umat.
Namun, mengelola zakat
tidaklah sesederhana hanya dengan mengumpulkan, menyimpan, lalu menyalurkan
zakat dari para muzakki kepada mustahik. Cara tersebut terlalu sederhana dan
kurang mampu mewujudkan hakikat zakat sebagai instrumen pembangunan rasa
kemanusiaan. Oleh karena itu, zakat harus dikelola dengan mekanisme manajemen
yang tersusun secara sistematis dan rapi.
Organisasi/lembaga
penyalur zakat juga memerlukan strategi manajemen yang baik, layaknya badan
usaha. Bedanya, lembaga zakat tidak boleh bergerak untuk mencari profit.
Apabila lembaga pengelola zakat menjalankan sistematika yang telah ditetapkan,
maka dapat dikatakan lembaga tersebut telah menerapkan prinsip profesionalisme.
Profesionalisme ini sangat penting untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat
agar menyalurkan zakatnya melalui lembaga-lembaga zakat. Zakat yang dihimpun
dari masyarakat pun dapat terkelola dengan baik dan disalurkan lebih tepat
sasaran demi tercapainya kemaslahatan umat (Qodariah Barkah, Azwari, Saprida,
& Zuul Fitriani Umari, 2020).
