- Perkuat Usaha Mustahik, BAZNAS Dukung Cici Lewat Bantuan Freezer untuk Gerai Z-Chicken
- Inovasi Petani Mustahik di Teluknaga: Bukti Peran Strategis BAZNAS dalam Pemberdayaan Umat
- Kurban, Ibadah yang Dianjurkan di Bulan Zulhijah
- Sejarah dan Tujuan Ibadah Kurban Menurut Sejarah Islam
- Bantuan BAZNAS Ubah Nuraena Jadi Mustahik Saudagar Ayam Krispi
- BAZNAS Bali dan Komunitas Kemanusiaan Bantu Tangani Jenazah Telantar
- Kemenag NTB Luncurkan Wakaf Berbasis QRIS
- Rumah Zakat Ikut Meriahkan Hari Kesiapsiagaan Bencana 2025
- LAZISNU Pati Bantu Korban Puting Beliung
- LAZISNU Sidoarjo Kembali Distribusikan Bantuan Modal UMKM
Nasi Uduk Babeh
Marie Muhammad Wildan

Keterangan Gambar : Dibuat oleh AI
Langit Ciputat masih gelap ketika Babeh mulai menggelar gerobaknya di bawah flyover. Udara pagi yang lembab membalut tubuh renta itu, namun semangatnya tak pernah surut. Usianya mungkin sudah lebih dari enam puluh, tapi tangan-tangannya masih cekatan menyiapkan dagangan: nasi uduk hangat dengan aroma santan yang menggoda, orek tempe manis gurih, bihun goreng, telur balado, dan ayam goreng kecokelatan.
Sejak tahun 1998, Babeh berjualan di situ. Di bawah flyover Ciputat, tak jauh dari Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Mahasiswa-mahasiswa sudah seperti anak-anaknya sendiri. Banyak yang sudah lulus, ada yang kini jadi dosen, wartawan, pegawai kementerian. Tapi mereka tak pernah lupa satu hal: nasi uduk Babeh.
“Pagi, Babeh! Kayak biasa ya, porsi kuli!” sapa Rizal, mahasiswa semester akhir yang sedang sibuk magang di BAZNAS.
Baca Lainnya :
- Klethek Harapan dari Karangwaru0
- Enam Negara Afrika Berlatih Zakat dan Sertifikasi Amil ke BAZNAS dan IPB0
- Dukung Evakuasi Sementara untuk Sebagian Warga Palestina, BAZNAS RI Siap Fasilitasi Perawatan di Ind0
- Kisah Cinta yang Tumbuh di Tengah Reruntuhan0
- Pecahnya Persatuan:Perang Hati di Antara Sahabat pedekar Indonesia (10)0
Babeh hanya tertawa, “Porsi kuli mah buat perut tentara, Jal. Nih, makan dulu, bayar belakangan, lu kan lagi magang, duitnya pasti tipis!”
Kehangatan seperti itu yang membuat Babeh dicintai banyak orang. Nasinya enak, tapi hatinya jauh lebih lezat.
Namun, dunia tidak selalu ramah pada orang-orang baik. Suatu pagi, beberapa petugas berseragam datang. Dengan nada tegas dan pengumuman resmi, mereka menyatakan seluruh area bawah flyover akan ditertibkan. Termasuk gerobak Babeh.
“Maaf, Pak. Ini sudah jadi keputusan bersama. Nggak boleh lagi ada PKL di bawah flyover. Bahaya, macet, dan katanya merusak estetika kota,” kata salah satu petugas sambil mengalihkan pandangannya dari tatapan Babeh yang kosong.
Hari-hari setelah itu begitu berat. Gerobak Babeh digusur. Nasi uduk tak lagi dijual di tempat biasa. Tak ada mahasiswa yang mampir sambil bercanda, tak ada panci kosong di siang hari karena dagangan ludes.
Anaknya, Aisyah, baru saja diterima di UIN Jakarta. Jurusan Hukum Ekonomi Syariah. “Biar bisa bantu Babeh, jadi orang bener,” katanya sambil mencium tangan Babeh waktu pengumuman kelulusan. Tapi sekarang, uang masuk kuliah saja belum dilunasi. SPP per semester masih utuh, belum ada bayangan dari mana datangnya.
Di satu malam, Babeh duduk termenung di atas kasur tipis di rumah kontrakan kecilnya. Kertas tagihan uang kuliah di tangan kiri, foto almarhum istrinya di tangan kanan. “Mak, maaf, Babeh belum bisa bahagiain anak kita...”
Suatu sore, Rizal datang ke kontrakan Babeh. Dengan senyum yang tak pernah luntur.
“Babeh, saya mau ngobrol serius. Tapi Babeh jangan nolak dulu ya.”
Babeh hanya mengangguk.
“Di BAZNAS tempat saya magang, ada program bantuan untuk usaha mikro yang terdampak. Termasuk pedagang yang tergusur. Saya udah ajukan nama Babeh. Tinggal Babeh siapin fotokopi KTP, KK, dan surat keterangan usaha dari kelurahan. Saya bantu urus semuanya.”
Babeh terdiam. Air matanya menetes pelan. “Rizal… ini beneran? Babeh nggak ngerti apa-apa soal urus-urusan kayak begitu…”
Rizal menggenggam tangan Babeh. “Biar saya yang bantu. Dulu Babeh bantu saya lewat nasi uduk dan doa. Sekarang giliran saya balas.”
Prosesnya tak mudah, tapi Rizal sabar mendampingi. Dia bawa Babeh ke kelurahan, bantu isi formulir, bikin surat keterangan. Lalu ke BAZNAS, lengkapin dokumen, dan ikut pelatihan kewirausahaan kecil.
Sebulan kemudian, bantuan itu cair. BAZNAS memberikan modal usaha sebesar lima juta rupiah, serta pelatihan rutin tentang manajemen usaha, pencatatan keuangan sederhana, dan pengembangan produk.
Dengan modal itu, Babeh menyewa kios kecil di dekat gerbang Kampus UIN. Bukan di bawah flyover lagi, tapi masih bisa dijangkau mahasiswa. Gerobaknya dipermak jadi lebih bersih dan rapi. Namanya pun berubah: “Nasi Uduk Babeh – Usaha Mandiri Binaan BAZNAS.”
Hari pertama buka, Rizal datang membawa kamera.
“Buat dokumentasi laporan magang,” katanya sambil nyengir.
Aisyah membantu melayani pembeli. Mahasiswa lama yang tahu kabar Babeh buka lagi langsung menyerbu.
“Babeh! Saya kangen banget nasi uduk Babeh!”
“Ini rasanya tetap sama, ya Allah…”
Babeh hanya tersenyum. “Nasi boleh sama, tapi tempatnya beda. Sekarang Babeh jualan halal dan resmi.”
Hidup Babeh memang tak kembali seperti dulu. Tapi kini ia berdiri lebih tegak. Tak lagi takut digusur. Ia tak kaya raya, tapi cukup untuk membiayai kuliah Aisyah dan membayar kontrakan tepat waktu. Dan yang paling penting, ia masih bisa memberi senyum dan sepiring nasi uduk hangat kepada anak-anak kampus yang ia anggap keluarganya sendiri.
Di dinding kios kecilnya, terpasang tulisan tangan sederhana:
“Hidup bukan soal di mana kita berdiri, tapi untuk siapa kita berdiri. Terima kasih, Rizal. Terima kasih, BAZNAS.”