- Perkuat Usaha Mustahik, BAZNAS Dukung Cici Lewat Bantuan Freezer untuk Gerai Z-Chicken
- Inovasi Petani Mustahik di Teluknaga: Bukti Peran Strategis BAZNAS dalam Pemberdayaan Umat
- Kurban, Ibadah yang Dianjurkan di Bulan Zulhijah
- Sejarah dan Tujuan Ibadah Kurban Menurut Sejarah Islam
- Bantuan BAZNAS Ubah Nuraena Jadi Mustahik Saudagar Ayam Krispi
- BAZNAS Bali dan Komunitas Kemanusiaan Bantu Tangani Jenazah Telantar
- Kemenag NTB Luncurkan Wakaf Berbasis QRIS
- Rumah Zakat Ikut Meriahkan Hari Kesiapsiagaan Bencana 2025
- LAZISNU Pati Bantu Korban Puting Beliung
- LAZISNU Sidoarjo Kembali Distribusikan Bantuan Modal UMKM
Filantropi Energi untuk Musibah Mati Listrik Global
Oleh: Abdullah Azzam

Pada Senin, 28 April, kawasan Eropa barat dikejutkan oleh pemadaman listrik besar-besaran yang melanda Spanyol, Portugal, dan sebagian wilayah Prancis. Fenomena ini bukan sekadar kejadian teknis biasa, melainkan sinyal nyata betapa rentannya sistem energi global terhadap gangguan baik dari faktor alam, teknis, maupun non-alam. Ketika lampu padam, pertanyaan besar muncul: sejauh mana kesiapan lembaga filantropi global dalam menanggulangi atau mengantisipasi musibah sejenis?
Studi kasus di atas menyuguhkan momentum penting untuk menilai kesiapsiagaan dan relevansi intervensi lembaga filantropi dalam sektor energi—yang selama ini lebih banyak dikaitkan dengan isu-isu kemiskinan, pendidikan, dan bencana alam.
Bencana (Alam) Energi
Baca Lainnya :
- Solidaritas Umat dan Diplomasi Kemanusiaan BAZNAS dalam Tragedi Gempa Myanmar 0
- Di Balik Tembok Kekuasaan: Ketika Hasrat Israel Menelan Kemanusiaan0
- Jurnalisme Profetik di Era Digital: Mengembalikan Kepercayaan Publik di Tengah Krisis Media0
- Sedekah 10 Malam Terakhir Ramadhan: Waktu Terbaik Meraih Pahala Berlipat0
- Kajian Zakat Fitrah: Hukum, Waktu, dan Cara Pembagiannya0
Pemadaman listrik yang terjadi di Eropa Barat berakar dari fenomena ekstrem alam, tepatnya variasi suhu yang menyebabkan osilasi pada saluran listrik tegangan tinggi. Fenomena “getaran atmosfer terinduksi” yang dilaporkan oleh jaringan listrik Portugal (REN) merupakan pemicu anomali pada sistem kelistrikan yang saling terhubung antarnegara.
Kegagalan sinkronisasi ini menjadi bukti bahwa sistem listrik di negara maju pun rentan terhadap ketidakseimbangan frekuensi yang sangat teknis—suatu wilayah yang jarang disentuh oleh lembaga filantropi yang cenderung fokus pada dampak sosial dari bencana, bukan pada infrastruktur teknis penyebabnya.
Peluang dan Tantangan Filantropi
Secara tradisional, lembaga filantropi dunia seperti Rockefeller Foundation, Ford Foundation, Bill & Melinda Gates Foundation, hingga Islamic Relief Worldwide, lebih banyak berperan dalam penanganan pascabencana dan pembangunan sosial ekonomi. Namun, kejadian mati listrik global semacam ini mengangkat satu tantangan baru: bagaimana filantropi turut berperan dalam pencegahan krisis energi?
Beberapa tantangan utama yang dihadapi adalah, pertama, kurangnya orientasi teknis, banyak lembaga filantropi tidak memiliki tim ahli energi atau spesialis infrastruktur listrik. Kedua, skala kejadian yang lintas batas negara, Pemadaman bersifat sistemik dan memerlukan pendekatan multilateral. Ketiga, minimnya sistem peringatan dini, lembaga filantropi umumnya tidak terlibat dalam sistem monitoring frekuensi dan kestabilan jaringan listrik.
Namun, peluang besar juga terbuka. Pertama, investasi pada riset dan teknologi prediksi cuaca ekstrem dan dampaknya terhadap sistem energi. Kedua, kemitraan strategis dengan penyedia energi, seperti Neara dan REE, dalam membangun sistem ketahanan energi komunitas. Ketiga, pendanaan untuk energi alternatif komunitas (solar panel, microgrid, dan lain-lain) untuk daerah rawan.
Filantropi Energi
Untuk meningkatkan peran serta filantropi dalam sektor energi, diperlukan pendekatan strategis berbasis kolaborasi global. Berikut beberapa rekomendasi. Pertama, mendirikan dana khusus ketahanan energi global.
Sebuah inisiatif yang dapat digalang bersama oleh lembaga filantropi, pemerintah, dan sektor swasta guna mendanai proyek ketahanan energi, sistem mikrogrid, serta bantuan darurat saat mati listrik skala besar terjadi.
Kedua, mengarus mengutamakan energi dalam agenda kemanusiaan. Krisis energi harus ditempatkan pada prioritas tinggi dalam kebijakan kebencanaan filantropi. Energi adalah fondasi segala respons kemanusiaan—mulai dari air, rumah sakit, hingga logistik bantuan.
Ketiga, pemerdayaan energi komunitas. Filantropi dapat membiayai sistem pembangkit lokal berbasis energi terbarukan, khususnya di kawasan rentan bencana atau konflik, sebagai bentuk resilien komunitas terhadap pemadaman sistemik.
Keempat, energi untuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan publik. Perlu ada upaya pendidikan dan pelatihan mengenai risiko kegagalan sistem listrik, baik untuk organisasi kemanusiaan maupun masyarakat umum agar mampu bertindak cepat saat terjadi gangguan.
Beberapa lembaga sudah mulai menapaki peran dalam dunia energi. Antara lain, Rockefeller Foundation, melalui inisiatif Power Africa, membantu pengembangan sistem energi bersih di kawasan Sub-Sahara Afrika. Gates Foundation, yang telah mendanai riset energi alternatif dan teknologi karbon rendah.
International Committee of the Red Cross (ICRC) atau Komite Palang Merah Internasional, yang mulai membangun sistem energi mandiri untuk rumah sakit di zona konflik. Namun, kontribusi ini masih belum menyentuh mitigasi sistemik untuk insiden global seperti pemadaman Eropa baru-baru ini.
Filantropi dan Ketahanan Energi
Peristiwa mati listrik serentak di Eropa merupakan pengingat bahwa dunia saling terhubung dalam jaringan yang sangat rentan. Ketika kabel tegangan tinggi terguncang oleh perubahan suhu, kehidupan jutaan orang pun terhenti. Dalam lanskap krisis baru ini, lembaga filantropi harus meluaskan perannya dari penanggulangan bencana menjadi mitra strategis dalam ketahanan energi.
Bukan hanya soal membangun kembali setelah gelap, tetapi memastikan bahwa saat kegelapan datang, ada cahaya cadangan yang telah mereka siapkan—baik dalam bentuk teknologi, dukungan dana, maupun pengetahuan komunitas.