Di Ambang Kematian:Pahlawan Indonesia yang Menentang Penjajah (9)
Oleh : Mosyolla Azzahra

By Mosyolla Azzahra 26 Mar 2025, 14:53:50 WIB Cerpen
Di Ambang Kematian:Pahlawan Indonesia yang Menentang Penjajah (9)

Keterangan Gambar : Meta AI


Penjara Belanda, tengah malam.

Kegelapan pekat di dalam sel sempit itu membuat Zaki hampir tak bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan. Tubuhnya terasa lemas, dan lukanya semakin parah. Setelah hari-hari penuh penyiksaan tanpa henti, Zaki merasa nyaris kehilangan kekuatan. Namun, meskipun rasa sakit itu menghimpit, semangat juangnya tetap menyala. Kemerdekaan Indonesia masih menjadi api yang membakar dalam dadanya. Ia tak akan membiarkan dirinya menyerah begitu saja.

Namun, ketika dia terjaga dalam keheningan, sebuah suara terdengar dari luar jeruji penjara.

Baca Lainnya :

“Zaki…”

Suara itu lembut, namun ada ketegasan di dalamnya. Zaki menoleh, matanya berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan. Seorang perwira Belanda, yang lebih tinggi pangkatnya dibandingkan para penjaga lainnya, berdiri di depan selnya. Wajah perwira itu terlihat serius, namun ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan matanya—sebuah tawaran yang menggoda.

“Aku datang bukan untuk menyiksa, Zaki. Aku datang untuk menawarkanmu jalan keluar. Jalan yang dapat menyelamatkanmu dan teman-temanmu.” Perwira itu berbicara dengan suara tenang.

Zaki menatapnya tajam. "Jalan keluar? Apa maksudmu?" Zaki merasakan ketidakpercayaan yang mengalir dalam nadinya. Dalam situasi seperti ini, tawaran dari musuh hanyalah jebakan. Tetapi dia tidak bisa mengabaikan kata-kata itu begitu saja.

Perwira itu melanjutkan, “Kamu sudah mengalahkan kami dalam banyak pertempuran, Zaki. Kami tahu betapa berbahayanya kamu bagi kekuatan Belanda di tanah ini. Tapi, kami juga tahu bahwa kamu bisa diselamatkan. Kami menawarkan dua hal: kebebasanmu, dan keselamatan teman-temanmu. Semua yang kamu harus lakukan adalah berhenti melawan dan menerima tawaran kami—bekerja dengan kami untuk menghentikan perlawanan rakyat Indonesia. Jika kamu menerima tawaran ini, kami akan memberi amnesti, dan kamu serta teman-temanmu akan hidup tanpa kekhawatiran.”

Tawaran itu seperti racun yang mengalir dalam pembuluh darah Zaki. “Kamu ingin aku menyerah?” Zaki bertanya dengan suara pelan, namun penuh amarah. “Aku tak akan pernah menyerah pada penjajah. Indonesia tidak akan pernah menyerah!”

Perwira Belanda itu mengangguk, seolah sudah mengetahui jawaban itu. “Kamu bisa mempertahankan harga dirimu, Zaki. Tapi ketahuilah, pilihan ini akan menentukan hidup mati banyak orang. Termasuk teman-temanmu. Mereka mungkin tidak akan bertahan lama di luar sana jika kamu tetap pada perlawanan ini. Kami akan mengejar mereka sampai ke ujung dunia.”

Zaki menatap tajam mata perwira itu, mencoba menahan emosi yang mulai meluap. Tawaran itu sangat menggoda—tetapi sangat keji. “Aku tidak akan terjerumus dalam perangkapmu,” kata Zaki, dengan suara yang lebih tegas, meski tubuhnya hampir tak sanggup lagi menahan beban ini.

Perwira itu tersenyum dingin. “Jangan khawatir. Kami akan memberi waktu untuk berpikir. Pilihan ini hanya untukmu, Zaki. Dan kamu tahu apa yang harus kamu pilih untuk menyelamatkan dirimu dan teman-temanmu.”

Dengan itu, perwira itu berbalik dan pergi, meninggalkan Zaki dengan pikiran yang kacau. Zaki tahu bahwa perlawanan ini semakin sulit. Tawaran itu mungkin bukan hanya ujian untuk dirinya, tetapi juga untuk seluruh bangsa yang sedang berjuang untuk kebebasan. Indonesia membutuhkan pemimpin yang teguh. Zaki tidak boleh jatuh ke dalam jebakan ini.


Di luar penjara, di dalam hutan yang gelap, Ara sedang berjuang untuk menyelamatkan dirinya.

Setelah berhasil melarikan diri dari pengepungan sebelumnya, Ara menyusuri hutan dengan penuh ketegangan. Kaki dan tangannya terasa berat, tetapi dia tahu bahwa Zaki masih berada di penjara, dan dia harus melakukan apa pun untuk membebaskannya. Saat dia bergerak lebih dalam, beberapa tentara Belanda yang terlatih mulai mengejarnya. Mereka tahu bahwa ada seorang pejuang Indonesia yang mencoba keluar dari markas mereka, dan mereka tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Ara mendengar langkah kaki di belakangnya. Mereka semakin dekat. Dia merasa tubuhnya semakin lelah, namun tekadnya untuk menyelamatkan Zaki tidak pernah luntur.

Saat itu, suara tembakan terdengar, menandakan bahwa pasukan Belanda semakin dekat. Ara merasakan kepanikan mulai menguasai dirinya, namun sebelum dia bisa berlari lebih jauh, pasukan Belanda sudah mengelilinginya. Dia terjebak.

Namun, seperti halnya di masa lalu, Fatea muncul dengan sigap. Fatea tahu betul cara keluar dari situasi seperti ini. Dengan beberapa gerakan cepat dan terencana, dia menyerang para penjaga Belanda. Sambil mengelak dari serangan, Fatea menggunakan segala macam strategi untuk mengalihkan perhatian pasukan Belanda yang mengepung Ara.

“Ara, cepat! Kita harus pergi sekarang!” teriak Fatea, memegang tangan Ara dan menariknya untuk berlari menuju jalur yang lebih aman.

Dengan kecepatan luar biasa, mereka berdua melarikan diri ke dalam hutan, menghindari pasukan yang semakin agresif. Fatea tahu bahwa mereka hanya memiliki sedikit waktu. Zaki harus diselamatkan, dan hanya mereka yang bisa melakukannya.


Kembali di penjara, Zaki merenung.

“Aku harus tetap kuat, untuk Indonesia.” Zaki berkata pada dirinya sendiri. Rasa lelahnya hampir mematahkan tubuhnya, namun semangatnya tetap hidup. Dia tahu bahwa memilih untuk menyerah pada tawaran Belanda hanya akan menghancurkan segala yang telah diperjuangkan oleh rakyat Indonesia.

Tiba-tiba, pintu sel terbuka lagi. Zaki melihat wajah Fatea dan Ara muncul di ambang pintu, membawa harapan baru. “Kita akan keluar dari sini, Zaki.”

Dengan bantuan mereka, Zaki berusaha bangkit. “Aku tahu aku harus melawan,” kata Zaki, suaranya tegas meskipun tubuhnya sangat lemah. “Kita tidak bisa menyerah. Tidak untuk Indonesia, tidak untuk perjuangan kita.”

Fatea dan Ara memapah Zaki keluar dari sel, berlari menuju terowongan yang telah mereka siapkan sebelumnya. Namun, pasukan Belanda sudah mengetahui bahwa mereka akan melarikan diri. Serangan yang lebih besar sedang datang.

Fatea dan Ara berjuang mati-matian untuk memastikan Zaki bisa selamat. Dengan kecerdikan Fatea yang selalu berhasil menipu penjaga, mereka berhasil menyusup melalui jalur yang penuh bahaya. Namun, pasukan Belanda semakin mendekat. Tepat di saat-saat terakhir, Fatea menggunakan sebuah perangkap jebakan yang menahan pasukan Belanda dalam waktu yang cukup lama, memberi mereka cukup waktu untuk melarikan diri.

Akhirnya, setelah berlari sejauh mungkin, mereka menemukan tempat aman untuk bersembunyi. Zaki, Ara, dan Fatea berbaring di tanah, kelelahan namun penuh dengan tekad.

“Tawaran itu tidak bisa kita terima, Zaki,” kata Ara dengan suara rendah, meskipun dia tahu Zaki sudah tahu jawabannya. “Indonesia butuh pemimpin seperti kamu. Kita tidak bisa berhenti sekarang.”

Zaki mengangguk lemah, tetapi penuh tekad. “Kita tidak akan pernah menyerah. Kita akan terus berjuang… sampai Indonesia merdeka.”




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment