- Perkuat Usaha Mustahik, BAZNAS Dukung Cici Lewat Bantuan Freezer untuk Gerai Z-Chicken
- Inovasi Petani Mustahik di Teluknaga: Bukti Peran Strategis BAZNAS dalam Pemberdayaan Umat
- Kurban, Ibadah yang Dianjurkan di Bulan Zulhijah
- Sejarah dan Tujuan Ibadah Kurban Menurut Sejarah Islam
- Bantuan BAZNAS Ubah Nuraena Jadi Mustahik Saudagar Ayam Krispi
- BAZNAS Bali dan Komunitas Kemanusiaan Bantu Tangani Jenazah Telantar
- Kemenag NTB Luncurkan Wakaf Berbasis QRIS
- Rumah Zakat Ikut Meriahkan Hari Kesiapsiagaan Bencana 2025
- LAZISNU Pati Bantu Korban Puting Beliung
- LAZISNU Sidoarjo Kembali Distribusikan Bantuan Modal UMKM
Penjaga Waktu: Episode 2
Abdullah Azzam

Keterangan Gambar : Ilustrasi AI
Setelah terjatuh di depan bangunan tua yang pernah ia kenal sebagai Toko Terakhir, Raka merasakan tubuhnya melayang. Ia tidak bisa merasakan waktu, dingin, atau panas. Dunia seakan berhenti. Ia sadar... ini bukan dunia.
Tiba-tiba ia berdiri di sebuah lorong panjang, dipenuhi jam-jam besar yang berdetak pelan. Waktu seperti mengalir di dinding—ada yang berjalan mundur, ada yang beku, dan ada pula yang berputar cepat.
Baca Lainnya :
- Toko Terakhir di Ujung Jalan: Episode 10
- Dosa yang Menghidupkan0
- Catatan Sedekah Ibu0
- Nasi Uduk Babeh0
- Klethek Harapan dari Karangwaru0
Dari ujung lorong, muncullah sosok berjubah kelabu terang. Wajahnya damai, tak tua dan tak muda. Sosok itu memperkenalkan diri:
“Aku Alwan. Penjaga Waktu. Engkau Raka... pemilik kesempatan kedua.”
Alwan menuntun Raka ke sebuah ruang tanpa dinding, tapi penuh cahaya. Di hadapannya, muncul rekaman hidupnya: anak-anak yang menangis karena ulahnya, perempuan yang ia sakiti, orang tua yang ia abaikan, dan tawa kosongnya sendiri saat menyombongkan dunia.
Raka mencoba menolak kenyataan itu, tapi semuanya nyata.
“Kau diberi satu hari. Satu titik dalam hidupmu untuk diubah. Tapi hanya satu. Pilih dengan bijak, karena waktu tak akan mengulang kesempatan.”
Raka terdiam. Ia bingung. Haruskah ia kembali ke masa kecil dan mencintai ibunya lebih awal? Atau ke masa mudanya, menolak suap pertama yang membuatnya rakus?
Setelah berpikir, ia memilih kembali ke malam ketika ia menolak tawaran lelaki tua di Toko Terakhir. Ia pikir itulah awal keruntuhannya.
Alwan mengangguk. “Tapi ingat… jika kau ubah satu, kau ubah semuanya.”
Raka kembali ke tubuh mudanya, di malam toko itu pertama kali ia masuki. Tapi kali ini, ia berkata pada lelaki tua:
“Aku ingin akhirat. Aku akan menjual duniaku.”
Lelaki tua tersenyum.
Begitu keluar dari toko, Raka muda berubah total. Ia mulai meninggalkan dunia gelapnya: ia berhenti mencuri, meminta maaf pada orang-orang yang pernah ia lukai, membangun masjid kecil di kampung ibunya, dan menjadi guru ngaji di panti asuhan.
Namun dalam tiap langkah itu, satu demi satu kenangan bahagianya mulai hilang. Mobil mewahnya lenyap dari ingatan. Rumah megahnya tak pernah ada. Wajah mantan kekasihnya memudar. Ia merasa sepi… tapi damai.
Saat Raka tua membuka matanya, ia tidak lagi berada di lorong waktu. Ia terbangun di sebuah rumah kayu sederhana dengan suara anak-anak mengaji di luar. Seorang bocah masuk dan berkata, “Ustaz Raka, kami sudah siap mengaji.”
Raka tersenyum. Tapi ia bingung—bukankah ia sudah mati?
Lalu suara Alwan berbisik dalam hatinya:
“Kesempatan keduamu… bukan mimpi. Itu adalah hidup barumu. Dunia telah kau tukar. Sekarang kau hidup... dengan arah yang benar.”
Raka tidak hanya mengubah satu titik. Ia diberi hidup baru sepenuhnya—dimulai dari pilihan itu.