- Perkuat Usaha Mustahik, BAZNAS Dukung Cici Lewat Bantuan Freezer untuk Gerai Z-Chicken
- Inovasi Petani Mustahik di Teluknaga: Bukti Peran Strategis BAZNAS dalam Pemberdayaan Umat
- Kurban, Ibadah yang Dianjurkan di Bulan Zulhijah
- Sejarah dan Tujuan Ibadah Kurban Menurut Sejarah Islam
- Bantuan BAZNAS Ubah Nuraena Jadi Mustahik Saudagar Ayam Krispi
- BAZNAS Bali dan Komunitas Kemanusiaan Bantu Tangani Jenazah Telantar
- Kemenag NTB Luncurkan Wakaf Berbasis QRIS
- Rumah Zakat Ikut Meriahkan Hari Kesiapsiagaan Bencana 2025
- LAZISNU Pati Bantu Korban Puting Beliung
- LAZISNU Sidoarjo Kembali Distribusikan Bantuan Modal UMKM
Mengapa Palestina Masih Sulit Merdeka?
Ilham Aidil Fitrah

Keterangan Gambar : Foto: dok. BBC
Di sudut Timur Tengah yang sarat sejarah dan luka, Palestina berdiri di antara harapan dan realitas yang kejam. Setiap hari, kehidupan berjalan dalam bayang-bayang tembok beton, pos pemeriksaan militer, dan langit yang kadang disapu jet tempur. Bagi sebagian anak Palestina, kata “merdeka” hanyalah cerita dari orang tua mereka—sebuah mimpi yang semakin sulit dicapai.
Lalu, mengapa hingga hari ini, Palestina masih belum merdeka?
1. Sejarah yang Berdarah dan Tak Pernah Usai
Konflik Palestina-Israel berakar dari sejarah panjang sejak jatuhnya Kekaisaran Ottoman dan penandatanganan Deklarasi Balfour oleh Inggris pada 1917. Janji Inggris kepada Yahudi untuk mendirikan “tanah air” di Palestina menandai awal mula ketegangan.
Baca Lainnya :
- Lazismu Berbagi Voucher Belanja untuk Pengahafal Al-Quran di Gaza0
- Dukung Evakuasi Sementara untuk Sebagian Warga Palestina, BAZNAS RI Siap Fasilitasi Perawatan di Ind0
- BAZNAS RI Kirim 41 Truk Kontainer Bantuan Pokok untuk Palestina 0
- BAZNAS Hulu Sungai Selatan Salurkan Bantuan Palestina via BAZNAS RI0
- BAZNAS, Kemlu RI, MUI, dan LSM Targetkan Penggalangan Dana Rp3,2 Triliun untuk Palestina0
Setelah Perang Dunia II, khususnya pasca-Holocaust, tekanan internasional mendesak terbentuknya negara Israel pada 1948. Namun, pembentukan itu juga menjadi titik awal Nakba (malapetaka) bagi rakyat Palestina, ketika ratusan ribu warga diusir dari tanah mereka. Sejak saat itu, luka terus menganga.
2. Realitas Geopolitik yang Rumit
Salah satu alasan utama Palestina sulit merdeka adalah peta kekuasaan global. Amerika Serikat secara konsisten menjadi pendukung kuat Israel—secara militer, ekonomi, hingga diplomatik. Setiap upaya Palestina untuk diakui sebagai negara sering terhalang veto di Dewan Keamanan PBB.
Di sisi lain, negara-negara Arab yang dahulu begitu vokal kini lebih sibuk dengan persoalan domestik atau normalisasi hubungan dengan Israel, seperti yang terlihat dari Abraham Accords. Palestina pun perlahan kehilangan banyak sekutu strategis.
3. Perpecahan Internal Palestina Sendiri
Tidak bisa dimungkiri, perpecahan antara dua faksi utama—Fatah di Tepi Barat dan Hamas di Gaza—juga menjadi penghalang. Ketika dunia berharap ada satu suara dari Palestina, kenyataannya yang terjadi adalah konflik internal, pertentangan politik, dan kesulitan membentuk pemerintahan yang utuh.
4. Pendudukan dan Permukiman yang Terus Meluas
Hingga hari ini, Israel terus memperluas permukiman Yahudi di wilayah Tepi Barat yang secara hukum internasional adalah wilayah Palestina. Pembangunan ini bukan hanya soal rumah dan bangunan, tapi tentang upaya sistematis mengubah demografi dan mengurangi kemungkinan berdirinya negara Palestina yang merdeka.
5. Dunia yang Semakin Akrab dengan Ketidakadilan
Walaupun dukungan simpati untuk Palestina tersebar luas di media sosial, dalam praktiknya, banyak negara tetap diam atau bersikap ambigu. Dunia tampak semakin terbiasa dengan ketidakadilan yang menimpa Palestina—sebuah normalisasi penderitaan yang diam-diam menyakitkan.
Meski begitu, di balik reruntuhan rumah dan puing harapan, rakyat Palestina tetap menggenggam satu hal yang belum bisa dirampas: semangat untuk merdeka. Anak-anak masih menggambar bendera Palestina di dinding sekolah, para ibu masih menanam zaitun di tanah yang mereka yakini akan menjadi milik mereka kembali.
Palestina mungkin belum merdeka hari ini. Tapi selama masih ada yang berdoa, menulis, dan bermimpi—perjuangan itu belum selesai.