Di Balik Tembok Kekuasaan: Ketika Hasrat Israel Menelan Kemanusiaan
Ilham Aidil Fitrah

By Admin 22 Apr 2025, 15:31:11 WIB Opini
Di Balik Tembok Kekuasaan: Ketika Hasrat Israel Menelan Kemanusiaan

Di tanah yang disebut tiga agama suci sebagai tempat yang diberkahi, ironi terbesar manusia terjadi setiap hari. Di balik pagar kawat dan pos pemeriksaan yang tak terhitung jumlahnya, ada bangsa yang terus berjuang untuk hidup, sementara yang lain terus memperluas kekuasaannya, seolah sejarah dan kemanusiaan hanyalah catatan kaki di buku politik.

Israel, yang lahir dari penderitaan panjang diaspora Yahudi dan tragedi Holocaust, kini berdiri sebagai kekuatan militer yang tak tertandingi di kawasan. Namun, seiring dengan kekuatan itu, muncul juga bayang-bayang gelap: tindakan penindasan, blokade, penghancuran rumah-rumah sipil, dan perluasan pemukiman ilegal yang terus terjadi hingga hari ini.

Rasa Tak Pernah Cukup: Kekuasaan yang Selalu Lapar

Banyak pengamat menyebut Israel sebagai negara yang rakus wilayah. Setiap jengkal tanah yang direbut dari Palestina, terutama di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, sering dibungkus narasi keamanan. Namun, realitanya, permukiman-permukiman Yahudi itu tumbuh seperti jamur di musim hujan—meluas, menekan, mengusir.

Baca Lainnya :

Apakah itu hanya soal keamanan? Atau ada hasrat yang lebih dalam: keinginan untuk menguasai total wilayah yang dahulu dijanjikan secara historis dan religius?

"Israel tidak hanya ingin tanah, mereka ingin pengakuan total dan dominasi penuh," kata seorang aktivis HAM internasional yang telah bekerja bertahun-tahun di Gaza. “Mereka ingin Palestina ada tanpa benar-benar ada.”

Normalisasi Kekejaman dan Dunia yang Bungkam

Ketika rumah-rumah warga Gaza hancur dalam hitungan detik oleh rudal presisi tinggi, Israel menyebutnya "tindakan defensif". Tapi siapa yang benar-benar mereka lawan? Anak-anak? Ibu-ibu yang menunggu air bersih? Atau generasi muda yang bahkan tak pernah tahu arti 'jalan bebas hambatan' karena hidup mereka dibatasi dari lahir?

Dunia, dengan segala sorotan kamera dan pidato diplomatiknya, seringkali hanya mengangkat bahu. Bahkan negara-negara yang dulu vokal kini memilih jalur "damai" lewat bisnis dan investasi—melupakan darah yang masih membasahi tanah Gaza.

Egoisme yang Diwariskan Lewat Politik dan Narasi

Pendidikan di Israel mengajarkan soal bahaya anti-Semitisme dan pentingnya mempertahankan negara Yahudi. Namun, di sisi lain, banyak warganya yang tumbuh tanpa pernah tahu kisah seorang anak Palestina yang kehilangan keluarganya di balik tembok yang sama. Narasi yang dibangun sepihak ini menumbuhkan generasi yang melihat kekuasaan sebagai hak mutlak—dan kemanusiaan sebagai pilihan, bukan kewajiban.


Akhir yang Masih Terlalu Jauh

Apa yang membuat sebuah bangsa bisa begitu percaya bahwa tanah harus dimiliki dengan paksa? Bahwa rasa aman hanya bisa dicapai dengan menginjakkan kaki di leher bangsa lain? Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin belum punya jawaban, tapi yang pasti: selama kekuasaan lebih penting dari keadilan, Palestina akan terus menangis dalam diam.

Dan selama dunia masih memilih diam, kekuasaan akan terus merasa benar. 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment