Catatan Sedekah Ibu
Marie Muhammad Wildan

By MM Wildan 21 Apr 2025, 16:10:35 WIB Cerpen
Catatan Sedekah Ibu

Keterangan Gambar : Dibuat oleh AI


Angin sore meniup lembut tirai jendela kamar kecil itu. Debu-debu beterbangan, menari bersama kenangan yang perlahan muncul kembali dalam benak Raka. Ia baru saja pulang dari pemakaman ibunya—satu-satunya orang yang ia punya. Kini, dunia terasa sepi. Tak ada lagi suara lembut yang membangunkannya subuh-subuh, tak ada lagi tangan hangat yang menggenggamnya saat kesulitan datang.

Rumah petak warisan mendiang kakek itu kini menjadi miliknya sepenuhnya. Ia membuka lemari tua yang sudah mulai lapuk, mencoba membereskan barang-barang ibunya. Di balik tumpukan baju lusuh, ada sebuah kotak kayu kecil. Raka mengangkatnya pelan, meniup debu di permukaan, lalu membuka tutupnya.

Isinya bukan perhiasan atau uang simpanan, tapi sebuah buku catatan bergambar bunga matahari di sampul depannya.

Baca Lainnya :

“Catatan Sedekah Ibu.”
Tertulis dengan huruf sambung yang begitu dikenalnya.

Raka membuka lembaran pertamanya.


Senin, 12 Januari
Sedekah 2 bungkus nasi ke tukang sapu jalan. Semoga Allah ganti dengan kesehatan untuk Raka.

Kamis, 5 Februari
Beri uang jajan ke anak tetangga yang selalu lewat ke sekolah dengan sendal jepit bolong. Semoga kelak Raka bisa tumbuh jadi anak dermawan.


Air mata Raka mengalir pelan. Setiap halaman berisi catatan kecil yang sederhana, bahkan terkesan sepele. Tapi ada satu benang merah: semuanya dilakukan ibunya diam-diam, dengan harapan dan doa yang selalu tertuju pada Raka.

Ia membalik halaman demi halaman. Catatan-catatan itu melampaui tahun, dari saat Raka masih balita, hingga baru beberapa minggu lalu.


Minggu, 3 Desember (tahun ini)
Beri satu potong ayam ke ibu tua yang biasa mengamen di warung. Raka sebentar lagi lulus sekolah. Semoga bisa kerja dan bantu orang banyak.


Raka menutup buku itu sambil memeluknya erat. “Bu, Raka janji... Raka lanjutin semua kebaikan Ibu. Walaupun hidup Raka sendiri susah, Raka bakal tetep berbagi.”


Dua bulan berlalu. Raka bekerja serabutan: jadi penjaga warung malam hari, ojek online di pagi hari, dan bantu-bantu tetangga yang butuh jasa angkut. Penghasilannya pas-pasan, kadang kurang.

Namun, setiap hari, Raka menyisihkan sedikit uang recehnya. Ia membeli dua bungkus nasi, lalu mencari orang yang bisa menerimanya.

Kadang tukang parkir, kadang petugas kebersihan, kadang ibu-ibu yang menggendong bayi di pinggir jalan. Setiap kali memberi, Raka selalu menuliskan catatannya di buku warisan ibunya.


Rabu, 15 Februari
Beri nasi ke bapak tua yang tertidur di trotoar. Semoga beliau bisa makan kenyang hari ini.

Sabtu, 25 Maret
Sedekah ke anak kecil yang jual tisu di perempatan. Semoga dia bisa sekolah, seperti dulu Ibu perjuangkan sekolah Raka.


Lama-lama, beberapa orang mulai mengenal Raka. “Itu anak muda yang suka sedekah diam-diam,” kata seorang ibu pemulung. Ia bahkan sering melihat Raka menyelipkan uang di bawah plastik bekas, supaya tidak ketahuan siapa pemberinya.

Sampai suatu hari, seorang wartawan muda yang sedang meliput isu kemiskinan di kota, tak sengaja melihat aksi Raka.

“Mas, maaf, kenapa Mas kasih nasi itu ke bapak itu?”

Raka tersenyum. “Nggak apa-apa, Mas. Cuma lanjutin kebiasaan Ibu saya aja.”

Wartawan itu tertarik, dan setelah sedikit wawancara, ia menulis artikel berjudul “Anak Yatim Penerus Kebaikan Ibu”. Artikel itu viral. Banyak yang terinspirasi. Beberapa pembaca bahkan menghubungi redaksi untuk memberikan bantuan kepada Raka agar bisa hidup lebih layak.

Namun Raka menolak.

“Saya cukup, Mas. Kalau ada yang mau bantu, lebih baik bantuin mereka yang benar-benar nggak punya. Saya masih bisa kerja.”

Tapi ia tak bisa menolak satu tawaran: seorang pengusaha yang membaca kisahnya mengajak Raka kerja di yayasan sosial miliknya, agar bisa menyalurkan bantuan ke lebih banyak orang.

Kini, setiap hari, Raka tak hanya berbagi nasi, tapi juga sembako, beasiswa, dan pelatihan untuk orang-orang yang membutuhkan.

Buku catatan sedekah ibunya kini hampir penuh. Tapi Raka menambahkan satu halaman baru di bagian paling belakang, dengan tulisan tangan yang perlahan mulai menyerupai milik ibunya:


Selasa, 10 Oktober
Beri kesempatan hidup lebih baik ke puluhan orang lewat yayasan tempat kerja. Terima kasih, Bu, sudah ajarkan Raka cara memberi, bahkan ketika tidak punya apa-apa.


Langit sore itu kembali menggerakkan tirai kamar. Tapi kini, ruangan itu tak lagi hampa. Ia penuh harapan, penuh doa, dan penuh catatan kebaikan yang tak akan pernah selesai ditulis.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment