Strategi Pengeloaan Zakat Dalam Pemberdayaan Umat (Bagian I)
Sumber: https://locus.rivierapublishing.id

By Revolusioner 24 Sep 2025, 14:51:00 WIB Z-Jurnal
Strategi Pengeloaan Zakat Dalam Pemberdayaan Umat (Bagian I)

Keterangan Gambar : Foto: Asisten AI


Penulis: 1) Ervina Rahmawati, 2) Yuni Pujiati , 3) Laila Turahmi, 4) Aji Pangestu, 5) Maya Panorama (UIN Raden Fatah)

Pendahuluan

Islam merupakan agama yang diturunkan kepada umat Islam untuk mengatur berbagai persoalan dan urusan kehidupan dunia serta mempersiapkan kehidupan akhirat. Agama Islam dikenal sebagai agama yang kaffah (menyeluruh) karena setiap detail urusan manusia telah dibahas dalam Al-Qur’an dan Hadis (Saprida, 2015). Yang di mana, ketika seseorang sudah beragama Islam atau Muslim, maka kewajiban baginya adalah melengkapi syarat menjadi Muslim atau yang dikenal dengan rukun Islam. Rukun Islam sendiri terbagi menjadi lima bagian, yaitu membaca syahadat, melaksanakan salat, menunaikan zakat, menjalankan puasa, dan menunaikan haji bagi orang yang mampu (Siregar & Daulay, 2022).

Zakat adalah salah satu ibadah pokok yang menjadi kewajiban bagi setiap individu (mukallaf) yang memiliki harta untuk mengeluarkan harta tersebut sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam zakat itu sendiri (Rodin, 2015). Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah syahadat dan salat, sehingga merupakan ajaran yang sangat penting bagi kaum Muslimin.

Bila saat ini kaum Muslimin sudah sangat paham tentang kewajiban salat dan manfaatnya dalam membentuk kesalehan pribadi, namun tidak demikian halnya dengan pemahaman terhadap kewajiban zakat yang berfungsi untuk membentuk kesalehan sosial. Implikasi kesalehan sosial ini sangat luas jika kaum Muslimin memahami hal tersebut. Pemahaman tentang salat sudah merata di kalangan Muslimin, namun belum demikian terhadap zakat.

Baca Lainnya :

Kegiatan ekonomi manusia dalam kehidupan sehari-hari merupakan hal mutlak yang sering dilakukan. Salah satunya seperti kegiatan orang yang berkecukupan materi memberikan sedekah kepada orang yang tidak mampu atau miskin, yang kemudian diterima dengan senang hati oleh penerima dengan senyuman tulus yang terpatri di bibir mereka atas bantuan yang diberikan. Contoh kecil tersebut menjadi salah satu kegiatan ekonomi yang tidak dapat dipungkiri. Dalam konstruk ini muncul kewajiban menafkahkan sebagian rezeki kepada orang lain. Kewajiban tersebut dikenal sebagai zakat (Saprida, 2015).

Salah satu sunnatullah yang sudah menjadi ketentuan Yang Maha Kuasa adalah perbedaan yang terdapat pada setiap diri manusia. Setiap orang lahir dan hidup di dunia memiliki kondisi yang berbeda dengan orang lain. Perbedaan ini mencakup semua aspek, mulai dari budaya, sosial, hingga ekonomi. Di Indonesia, tak ayal terdapat banyak masyarakat yang kaya dan juga miskin.

Dari dua kalangan yang berbeda tersebut, pastinya mereka menerima konsekuensi kehidupan dengan cara bersyukur ataupun menerima cobaan yang diberikan dengan lapang dada. Semua ini bukan tanpa tujuan, melainkan mengandung nilai realitas sosial yang dapat membuat manusia menyadari bahwa dirinya bukanlah apa-apa. Selain itu, Allah SWT ingin menguji manusia apakah mampu mengoptimalkan segala potensi kebaikan yang diberikan kepadanya atau tidak.

Di sisi lain, perbedaan tersebut sering menjadi masalah dalam kehidupan. Timbul gejolak akibat kesenjangan di antara manusia yang sulit dikontrol. Orang kaya yang dititipi harta melimpah tidak menjalankan tugasnya menolong fakir miskin, bahkan sebagian orang justru mengeksploitasi harta untuk kepentingan sendiri. Akhirnya, Allah menurunkan syariat-Nya bagi manusia guna menciptakan kesejahteraan dan kedamaian di bumi. Hal inilah yang disebut dengan Al-Islam (Saprida, 2015). Artinya, hanya dengan Islam manusia mampu mencapai kebahagiaan hidup. Akal dan pengetahuan manusia yang terbatas tidak akan mampu menciptakan solusi yang lebih baik daripada solusi dari Pencipta manusia itu sendiri (Bilyuda, 2021).

Salah satu ajaran Islam yang bertujuan mengatasi kesenjangan dan gejolak sosial adalah zakat. Zakat sebagai salah satu tiang penyangga Islam serta kewajiban bagi pemeluknya membawa misi memperbaiki hubungan horizontal antarmanusia, sehingga mampu mengurangi gejolak akibat problem kesenjangan hidup (Kanalakum & Edward, 2018). Selain itu, zakat juga memperkuat hubungan vertikal manusia dengan Allah, karena zakat merupakan bentuk pengabdian kepada Yang Mahakuasa.

Menurut pendapat Al-Zuhaili, definisi zakat adalah hak (tertentu) yang terdapat dalam harta seseorang. Definisi umum ini merupakan hasil saringan dari berbagai definisi spesifik yang dikemukakan oleh ahli fikih, yaitu suatu istilah tentang ukuran tertentu dari harta yang wajib dibagikan kepada golongan tertentu dengan syarat-syarat yang telah ditentukan (Adi, Novianti, & Adisaputra, 2022). Adapun hukum zakat, Islam menegaskan bahwa zakat merupakan salah satu rukun yang wajib ditunaikan oleh setiap Muslim yang hartanya sudah memenuhi kriteria tertentu.

Al-Qur’an dan Hadis menyatakan hal tersebut, dan jumhur ulama pun sepakat bahwa zakat adalah kewajiban yang tidak boleh diingkari. Siapa yang mengingkarinya dihukumi kufur terhadap ajaran Islam. Karena itu, zakat menempati posisi yang sangat urgen. Kewajiban zakat merupakan perintah Allah sejak zaman Nabi, yang membawa konsep kehidupan sempurna tidak hanya memperhatikan aspek individual, tetapi juga membawa misi sosial yang berdampak bagi umat. Para cendekiawan Muslim kontemporer menyebut zakat sebagai bentuk nyata solidaritas sosial (Syamsidar, Nasution, & Nurjamilah, 2019).

Di era milenial sekarang, umat Islam seharusnya lebih mengoptimalkan zakat untuk kesejahteraan publik. Namun, masih terdapat hambatan dalam pengelolaannya. Hambatan utama muncul karena zakat sering dipandang sebatas kewajiban formal, tanpa melihat efeknya bagi pemberdayaan ekonomi umat. Akibatnya, orientasi zakat hanya sebagai kewajiban kepada Tuhan, bukan sebagai instrumen penguatan ekonomi masyarakat. Bahkan, tidak sedikit muzaki membayar zakat hanya untuk menyucikan harta atau agar harta bertambah berkah. Hal ini menyebabkan substansi perintah zakat serta dampaknya bagi perekonomian masyarakat menjadi terabaikan.

Sebagai upaya menyeimbangkan pengaruh globalisasi, umat Islam harus melakukan langkah strategis dalam pemberdayaan ekonomi. Sistem ekonomi Islam harus diarahkan secara efektif dalam pemberdayaan umat, mengingat sistem ini bersumber dari wahyu. Oleh karena itu, zakat harus dikelola sebaik mungkin.

Allah SWT berfirman dalam QS. At-Taubah: 103:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۗ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Badan pengelola zakat adalah pemerintah sebagai lembaga berwenang dalam mengurusi urusan zakat (Adib & NPM, 2017). Oleh sebab itu, pembayaran zakat kepada lembaga resmi tidak perlu diragukan keefektifannya. Keberadaan lembaga ini akan memetakan pendistribusian zakat secara lebih adil dan komprehensif, sehingga tidak terjadi penumpukan di suatu wilayah sementara wilayah lain kekurangan.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi pengelolaan zakat dalam pemberdayaan umat.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment