- Studi Kasus Zakat Profesi atau Zakat Penghasilan (Bagian IV-Habis)
- Strategi Pengeloaan Zakat Dalam Pemberdayaan Umat (Bagian IV-Habis)
- Strategi Pengeloaan Zakat Dalam Pemberdayaan Umat (Bagian III)
- Studi Kasus Zakat Profesi atau Zakat Penghasilan (Bagian III)
- Strategi Pengeloaan Zakat Dalam Pemberdayaan Umat (Bagian II)
- Digital Experience dalam Perbankan Syariah (Bagian III-Habis)
- Studi Kasus Zakat Profesi atau Zakat Penghasilan (Bagian II)
- Pemerintah Libatkan Pengusaha dan Filantroper Percepat Penyaluran Bansos
- Strategi Pengeloaan Zakat Dalam Pemberdayaan Umat (Bagian I)
- Digital Experience dalam Perbankan Syariah (Bagian II)
Strategi Pengeloaan Zakat Dalam Pemberdayaan Umat (Bagian I)
Sumber: https://locus.rivierapublishing.id

Keterangan Gambar : Foto: Asisten AI
Penulis: 1) Ervina Rahmawati, 2) Yuni Pujiati , 3) Laila Turahmi, 4)
Aji Pangestu, 5) Maya Panorama (UIN Raden Fatah)
Pendahuluan
Islam merupakan agama yang diturunkan kepada umat
Islam untuk mengatur berbagai persoalan dan urusan kehidupan dunia serta
mempersiapkan kehidupan akhirat. Agama Islam dikenal sebagai agama yang kaffah (menyeluruh) karena setiap detail
urusan manusia telah dibahas dalam Al-Qur’an dan Hadis (Saprida, 2015). Yang di
mana, ketika seseorang sudah beragama Islam atau Muslim, maka kewajiban baginya
adalah melengkapi syarat menjadi Muslim atau yang dikenal dengan rukun Islam.
Rukun Islam sendiri terbagi menjadi lima bagian, yaitu membaca syahadat,
melaksanakan salat, menunaikan zakat, menjalankan puasa, dan menunaikan haji
bagi orang yang mampu (Siregar & Daulay, 2022).
Zakat adalah salah satu ibadah pokok yang menjadi kewajiban bagi setiap individu (mukallaf) yang memiliki harta untuk mengeluarkan harta tersebut sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam zakat itu sendiri (Rodin, 2015). Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah syahadat dan salat, sehingga merupakan ajaran yang sangat penting bagi kaum Muslimin.
Bila saat ini kaum
Muslimin sudah sangat paham tentang kewajiban salat dan manfaatnya dalam
membentuk kesalehan pribadi, namun tidak demikian halnya dengan pemahaman
terhadap kewajiban zakat yang berfungsi untuk membentuk kesalehan sosial.
Implikasi kesalehan sosial ini sangat luas jika kaum Muslimin memahami hal
tersebut. Pemahaman tentang salat sudah merata di kalangan Muslimin, namun
belum demikian terhadap zakat.
Baca Lainnya :
- Digital Experience dalam Perbankan Syariah (Bagian II)0
- Studi Kasus Zakat Profesi atau Zakat Penghasilan (Bagian I)0
- Digital Experience dalam Perbankan Syariah (Bagian I)0
Kegiatan ekonomi manusia dalam kehidupan
sehari-hari merupakan hal mutlak yang sering dilakukan. Salah satunya seperti
kegiatan orang yang berkecukupan materi memberikan sedekah kepada orang yang
tidak mampu atau miskin, yang kemudian diterima dengan senang hati oleh
penerima dengan senyuman tulus yang terpatri di bibir mereka atas bantuan yang
diberikan. Contoh kecil tersebut menjadi salah satu kegiatan ekonomi yang tidak
dapat dipungkiri. Dalam konstruk ini muncul kewajiban menafkahkan sebagian
rezeki kepada orang lain. Kewajiban tersebut dikenal sebagai zakat (Saprida,
2015).
Salah satu sunnatullah yang sudah menjadi ketentuan Yang Maha Kuasa adalah perbedaan yang terdapat pada setiap diri manusia. Setiap orang lahir dan hidup di dunia memiliki kondisi yang berbeda dengan orang lain. Perbedaan ini mencakup semua aspek, mulai dari budaya, sosial, hingga ekonomi. Di Indonesia, tak ayal terdapat banyak masyarakat yang kaya dan juga miskin.
Dari dua kalangan yang berbeda
tersebut, pastinya mereka menerima konsekuensi kehidupan dengan cara bersyukur
ataupun menerima cobaan yang diberikan dengan lapang dada. Semua ini bukan
tanpa tujuan, melainkan mengandung nilai realitas sosial yang dapat membuat
manusia menyadari bahwa dirinya bukanlah apa-apa. Selain itu, Allah SWT ingin
menguji manusia apakah mampu mengoptimalkan segala potensi kebaikan yang
diberikan kepadanya atau tidak.
Di sisi lain, perbedaan tersebut sering menjadi
masalah dalam kehidupan. Timbul gejolak akibat kesenjangan di antara manusia
yang sulit dikontrol. Orang kaya yang dititipi harta melimpah tidak menjalankan
tugasnya menolong fakir miskin, bahkan sebagian orang justru mengeksploitasi
harta untuk kepentingan sendiri. Akhirnya, Allah menurunkan syariat-Nya bagi
manusia guna menciptakan kesejahteraan dan kedamaian di bumi. Hal inilah yang
disebut dengan Al-Islam (Saprida, 2015). Artinya, hanya dengan Islam manusia
mampu mencapai kebahagiaan hidup. Akal dan pengetahuan manusia yang terbatas
tidak akan mampu menciptakan solusi yang lebih baik daripada solusi dari
Pencipta manusia itu sendiri (Bilyuda, 2021).
Salah satu ajaran Islam yang bertujuan mengatasi
kesenjangan dan gejolak sosial adalah zakat. Zakat sebagai salah satu tiang
penyangga Islam serta kewajiban bagi pemeluknya membawa misi memperbaiki
hubungan horizontal antarmanusia, sehingga mampu mengurangi gejolak akibat
problem kesenjangan hidup (Kanalakum & Edward, 2018). Selain itu, zakat
juga memperkuat hubungan vertikal manusia dengan Allah, karena zakat merupakan
bentuk pengabdian kepada Yang Mahakuasa.
Menurut pendapat Al-Zuhaili, definisi zakat
adalah hak (tertentu) yang terdapat dalam harta seseorang. Definisi umum ini
merupakan hasil saringan dari berbagai definisi spesifik yang dikemukakan oleh
ahli fikih, yaitu suatu istilah tentang ukuran tertentu dari harta yang wajib
dibagikan kepada golongan tertentu dengan syarat-syarat yang telah ditentukan
(Adi, Novianti, & Adisaputra, 2022). Adapun hukum zakat, Islam menegaskan
bahwa zakat merupakan salah satu rukun yang wajib ditunaikan oleh setiap Muslim
yang hartanya sudah memenuhi kriteria tertentu.
Al-Qur’an dan Hadis menyatakan hal tersebut, dan
jumhur ulama pun sepakat bahwa zakat adalah kewajiban yang tidak boleh
diingkari. Siapa yang mengingkarinya dihukumi kufur terhadap ajaran Islam.
Karena itu, zakat menempati posisi yang sangat urgen. Kewajiban zakat merupakan
perintah Allah sejak zaman Nabi, yang membawa konsep kehidupan sempurna tidak
hanya memperhatikan aspek individual, tetapi juga membawa misi sosial yang
berdampak bagi umat. Para cendekiawan Muslim kontemporer menyebut zakat sebagai
bentuk nyata solidaritas sosial (Syamsidar, Nasution, & Nurjamilah, 2019).
Di era milenial sekarang, umat Islam seharusnya
lebih mengoptimalkan zakat untuk kesejahteraan publik. Namun, masih terdapat
hambatan dalam pengelolaannya. Hambatan utama muncul karena zakat sering
dipandang sebatas kewajiban formal, tanpa melihat efeknya bagi pemberdayaan
ekonomi umat. Akibatnya, orientasi zakat hanya sebagai kewajiban kepada Tuhan,
bukan sebagai instrumen penguatan ekonomi masyarakat. Bahkan, tidak sedikit
muzaki membayar zakat hanya untuk menyucikan harta atau agar harta bertambah
berkah. Hal ini menyebabkan substansi perintah zakat serta dampaknya bagi
perekonomian masyarakat menjadi terabaikan.
Sebagai upaya menyeimbangkan pengaruh
globalisasi, umat Islam harus melakukan langkah strategis dalam pemberdayaan
ekonomi. Sistem ekonomi Islam harus diarahkan secara efektif dalam pemberdayaan
umat, mengingat sistem ini bersumber dari wahyu. Oleh karena itu, zakat harus
dikelola sebaik mungkin.
Allah SWT berfirman dalam QS. At-Taubah: 103:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ
وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۗ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ
وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
menyucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi
ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Badan pengelola zakat adalah pemerintah sebagai
lembaga berwenang dalam mengurusi urusan zakat (Adib & NPM, 2017). Oleh
sebab itu, pembayaran zakat kepada lembaga resmi tidak perlu diragukan
keefektifannya. Keberadaan lembaga ini akan memetakan pendistribusian zakat
secara lebih adil dan komprehensif, sehingga tidak terjadi penumpukan di suatu
wilayah sementara wilayah lain kekurangan.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi pengelolaan zakat dalam
pemberdayaan umat.
