Tiga Malam untuk Selembar Merah Putih
Putri Maritsa Ulfah

By Putri Maritsa 20 Agu 2025, 10:28:27 WIB Cerpen
Tiga Malam untuk Selembar Merah Putih

Keterangan Gambar : Foto: Asistensi AI


Langit Papua sore itu berwarna oranye keemasan. Farhan dan Sinta, dua mahasiswa KKN dari Jawa, baru saja pulang dari ladang pendampingan warga ketika langkah mereka terhenti. Dari arah hutan, tampak sekelompok orang berjalan kaki, tubuh penuh debu, pakaian lusuh, namun wajah mereka memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. Di pundak seorang tetua, tergulung selembar bendera merah putih, dijaga seolah pusaka warisan leluhur.

“Bapak, dari mana perjalanan ini?” tanya Sinta dengan heran.

Tetua desa tersenyum tipis meski napasnya berat. “Tiga hari tiga malam kami berjalan, Nak. Kami ingin ikut upacara HUT ke-80 RI di kota. Bendera ini hasil jahitan seluruh warga. Kainnya kami beli dari uang patungan—hasil panen singkong, pisang, dan kakao yang kami jual bersama.”

Baca Lainnya :

Farhan tercekat. Hatinya mendidih. “Negara sebesar ini, masa rakyat harus berkorban sampai begini? Mengapa tak ada bendera dari pemerintah?” katanya dengan nada marah, membuat beberapa warga menunduk.

Sinta menepuk bahunya. “Farhan, jangan begitu. Ini bukan sekadar bendera, tapi cinta. Mereka rela memberi yang terbaik meski sederhana.”

Namun amarah Farhan tak reda. “Ini ketidakadilan! Apakah ini arti kemerdekaan? Rakyat harus menderita demi simbol negara?”

Tetua berhenti melangkah, lalu menatapnya dalam. “Nak, jangan marah pada negeri sendiri. Kami tidak merasa menderita. Kami berjalan karena cinta. Selembar bendera ini adalah sedekah kami untuk Indonesia. Kami ingin Merah Putih berkibar dengan martabat, hasil tangan kami sendiri.”

Kata-kata itu menghunjam dada Farhan. Ia terdiam, hatinya bergetar. Dalam ajaran yang ia pahami, filantropi Islam bukan sekadar zakat atau infak, tetapi keikhlasan memberi, bahkan ketika dalam kekurangan. Dan kini, di depan matanya, orang-orang sederhana itu telah melakukannya: berkorban dari hasil kebun demi selembar Merah Putih.

Perjalanan menuju kota menjadi saksi kebersamaan mereka. Menyusuri sungai deras, menembus hutan lebat, melewati bukit terjal—semua ditempuh dengan langkah teguh. Di sela perjalanan, ibu-ibu bercerita bagaimana mereka menjual hasil panen demi membeli kain terbaik. Seorang anak kecil dengan polos berkata, “Supaya benderanya cantik, Kak, biar Indonesia bangga sama kami.”

Akhirnya, tibalah mereka di lapangan kota pada pagi 17 Agustus. Saat bendera itu dikibarkan, seluruh mata basah oleh air mata. Merah Putih berkibar gagah di langit Papua, bukan hanya sebagai simbol negara, tapi sebagai bukti cinta tanpa pamrih.

Farhan menunduk, dadanya sesak. “Aku yang salah,” bisiknya lirih. “Aku baru mengerti, kemerdekaan sejati lahir dari hati yang rela berkorban.”

Sinta menepuk bahunya. “Hari ini, kita belajar: selembar bendera bisa lahir dari iman, cinta, dan filantropi yang tulus.”

Di tanah Papua, mereka menemukan arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Merah Putih itu bukan sekadar kain, tapi doa, pengorbanan, dan cinta yang tak pernah lekang oleh waktu.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment