- Laznas WIZ Salurkan Mushaf Al-Quran dan Buku Iqra
- Bantu Warga Dhuafa, Target Zakat di Jawa Barat Ditingkatkan
- Solopeduli Berbagi Mushaf Baru untuk Rumah Tahfiz Quran
- Rumah Yatim Bantu Biaya Hidup Lansia Prasejahtera di Garut
- Perkuat Sinergi, NPC Perpanjang Kerja Sama MPZ dengan DT Peduli
- Generasi Unggul, PYI Dukung Program Kampung Zakat Tasikmalaya
- WIZ Parigi Salurkan Paket Alat Tulis untuk Anak Pedalaman Sirombiu
- Pembinaan Mustahik RSP IZI Jakarta: Menguatkan Hati dengan Syukur dan Sabar
- Ingin Sukses Jadi Hafiz Quran, Beasiswa OTA Solopeduli Bantu Raditya Bersekolah
- Ekspedisi Kemerdekaan Rumah Zakat untuk Peduli Pendidikan Anak Dusun Balocci
Tiga Malam untuk Selembar Merah Putih
Putri Maritsa Ulfah

Keterangan Gambar : Foto: Asistensi AI
Langit Papua sore itu berwarna oranye keemasan. Farhan dan Sinta, dua mahasiswa KKN dari Jawa, baru saja pulang dari ladang pendampingan warga ketika langkah mereka terhenti. Dari arah hutan, tampak sekelompok orang berjalan kaki, tubuh penuh debu, pakaian lusuh, namun wajah mereka memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. Di pundak seorang tetua, tergulung selembar bendera merah putih, dijaga seolah pusaka warisan leluhur.
“Bapak, dari mana perjalanan ini?” tanya
Sinta dengan heran.
Tetua desa tersenyum tipis meski napasnya
berat. “Tiga hari tiga malam kami berjalan, Nak. Kami ingin ikut upacara HUT
ke-80 RI di kota. Bendera ini hasil jahitan seluruh warga. Kainnya kami beli
dari uang patungan—hasil panen singkong, pisang, dan kakao yang kami jual
bersama.”
Baca Lainnya :
- Nasi Bungkus Lauk Mewah0
- Jejak di Antara Dua Takdir0
- Langkah di Balik Hujan 0
- Dam untuk Mereka yang Lapar0
- Penjaga Waktu: Episode 20
Farhan tercekat. Hatinya mendidih. “Negara
sebesar ini, masa rakyat harus berkorban sampai begini? Mengapa tak ada bendera
dari pemerintah?” katanya dengan nada marah, membuat beberapa warga menunduk.
Sinta menepuk bahunya. “Farhan, jangan
begitu. Ini bukan sekadar bendera, tapi cinta. Mereka rela memberi yang terbaik
meski sederhana.”
Namun amarah Farhan tak reda. “Ini
ketidakadilan! Apakah ini arti kemerdekaan? Rakyat harus menderita demi simbol
negara?”
Tetua berhenti melangkah, lalu menatapnya
dalam. “Nak, jangan marah pada negeri sendiri. Kami tidak merasa menderita.
Kami berjalan karena cinta. Selembar bendera ini adalah sedekah kami untuk
Indonesia. Kami ingin Merah Putih berkibar dengan martabat, hasil tangan kami
sendiri.”
Kata-kata itu menghunjam dada Farhan. Ia
terdiam, hatinya bergetar. Dalam ajaran yang ia pahami, filantropi Islam bukan
sekadar zakat atau infak, tetapi keikhlasan memberi, bahkan ketika dalam
kekurangan. Dan kini, di depan matanya, orang-orang sederhana itu telah
melakukannya: berkorban dari hasil kebun demi selembar Merah Putih.
Perjalanan menuju kota menjadi saksi
kebersamaan mereka. Menyusuri sungai deras, menembus hutan lebat, melewati
bukit terjal—semua ditempuh dengan langkah teguh. Di sela perjalanan, ibu-ibu
bercerita bagaimana mereka menjual hasil panen demi membeli kain terbaik.
Seorang anak kecil dengan polos berkata, “Supaya benderanya cantik, Kak, biar
Indonesia bangga sama kami.”
Akhirnya, tibalah mereka di lapangan kota
pada pagi 17 Agustus. Saat bendera itu dikibarkan, seluruh mata basah oleh air
mata. Merah Putih berkibar gagah di langit Papua, bukan hanya sebagai simbol
negara, tapi sebagai bukti cinta tanpa pamrih.
Farhan menunduk, dadanya sesak. “Aku yang
salah,” bisiknya lirih. “Aku baru mengerti, kemerdekaan sejati lahir dari hati
yang rela berkorban.”
Sinta menepuk bahunya. “Hari ini, kita
belajar: selembar bendera bisa lahir dari iman, cinta, dan filantropi yang
tulus.”
Di tanah Papua, mereka menemukan arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Merah Putih itu bukan sekadar kain, tapi doa, pengorbanan, dan cinta yang tak pernah lekang oleh waktu.