- Studi Kasus Zakat Profesi atau Zakat Penghasilan (Bagian IV-Habis)
- Strategi Pengeloaan Zakat Dalam Pemberdayaan Umat (Bagian IV-Habis)
- Strategi Pengeloaan Zakat Dalam Pemberdayaan Umat (Bagian III)
- Studi Kasus Zakat Profesi atau Zakat Penghasilan (Bagian III)
- Strategi Pengeloaan Zakat Dalam Pemberdayaan Umat (Bagian II)
- Digital Experience dalam Perbankan Syariah (Bagian III-Habis)
- Studi Kasus Zakat Profesi atau Zakat Penghasilan (Bagian II)
- Pemerintah Libatkan Pengusaha dan Filantroper Percepat Penyaluran Bansos
- Strategi Pengeloaan Zakat Dalam Pemberdayaan Umat (Bagian I)
- Digital Experience dalam Perbankan Syariah (Bagian II)
Studi Kasus Zakat Profesi atau Zakat Penghasilan (Bagian I)
Sumber: https://core.ac.uk

Keterangan Gambar : Foto: Asisten AI
Penulis: Ikbal Baidowi (UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten)
A. Pendahuluan
Zakat profesi merupakan salah satu kasus baru dalam fiqh (hukum Islam). Al-Quran dan al-Sunnah, tidak memuat aturan hukum yang tegas mengenai zakat profesi ini. Begitu juga ulama mujtahid seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad ibn Hanbal tidak pula memuat dalam kitab-kitab mereka mengenai zakat profesi ini. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya jenis-jenis usaha atau pekerjaan masyarakat pada masa Nabi dan imam mujtahid.
Baca Lainnya :
Sedangkan hukum Islam itu sendiri adalah refleksi dari peristiwa- peristiwa hukum yang terjadi ketika hukum itu ditetapkan. Tidak munculnya berbagai jenis pekerjaan dan jasa atau yang disebut dengan profesi ini pada masa Nabi dan imam-imam mujtahid masa lalu, menjadikan zakat profesi tidak begitu dikenal (tidak familiar) dalam Sunnah dan kitab-kitab fiqh klasik. Dan adalah wajar apabila sekarang terjadi kontroversi dan perbedaan pendapat ulama di sekitar zakat profesi ini. Ada ulama yang mewajibkannya dan ada pula ulama yang secara apriori tidak mewajibkannya.
Namun demikian, sekalipun hukum mengenai zakat profesi ini masih menjadi kontroversi dan belum begitu diketahui oleh masyarakat muslim pada umumnya dan kalangan profesional muslim di tanah air pada khususnya, kesadaran dan semangat untuk menyisihkan sebagian penghasilan sebagai zakat yang diyakininya sebagai kewajiban agama yang harus dikeluarkannya cukup tinggi.
Artikel ini barangkali bisa kita jadikan semacam indikasi bagaimana kalangan profesional peduli terhadap masalah zakat profesi ini. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba mengemukakan beberapa pokok pikiran berkenaan dengan hukum zakat profesi dengan judul zakat profesi dalam perspektif hukum islam (fiqh).
B. Pembahasan
1. Pengertian Profesi dan Zakat Profesi
Zakat profesi terdiri dari dua kata yaitu zakat dan profesi. Dalam literatur fiqh klasik pengertian zakat adalah hak yang dikeluarkan dari harta atau badan. Sehubungan dengan hal ini, Wahbah al-Zuhayly mengemukakan bahwa zakat adalah penuanaian hak yang wajib yang terdapat dalam harta. Dalam kamus Bahasa Indonesia, profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejujuran, dan sebagainya) tertentu (Kamus Bahasa Indonesia dalam Muhammad 2002:58).
Zakat profesi adalah zakat yang di keluarkan dari hasil apa yang diperoleh dari pekerjaan dan profesinya. Misalnya pekerjaan yang menghasilkan uang baik itu pekerjaan yang dikerjakan sendiri tampa tergantung dengan orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak (professional). Maupun pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat pihak lain baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah yang diberikan, dengan tangan, otak, ataupun keduanya.
Penghasilan dari pekerjaan seperti itu berupa gaji, upah, ataupun honorarium. Yang demikian itu apabila sudah mencapai nisabnya dan haulnya pendapatan yang ia hasilkan harus di keluarkan zakatnya. (Qardawi, 2007:459). Menurut Wikipedia, zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi ( guru, dokter, aparat, dan lain-lain) atau hasil profesi bila telah sampai pada nisabnya. Berbeda dengan sumber pendapatan dari pertanian, peternakan dan perdagangan, sumber pendapatan dari profesi tidak banyak dikenal di masa generasi terdahulu.
Dalam pandangan al-Ghazali zakat merupakan jenis ibadah yang berbentuk ritual sekaligus material tidak seperti ibadah syahadat, shalat atau puasa (Al Ghazali dalam Muhammad Hadi 2010: 68). Untuk bisa sampai ke arah sana diperlukan pemahaman yang memadai untuk menyadarkan bahwa kewajiban zakat bukanlah sekedar amaliah ritual mahdhah saja, tetapi juga memiliki makna kewajiban sosial.
Zakat adalah kesalehan diri melalui ikhtiar sosial. Agar sampai kepada kesadaran seperti itu diperlukan penyadaran yang dibarengi dengan tindakan amal-amal sosial, termasuk mengeluarkan zakat, infak dan shadaqah. Karena dalam ajaran zakat ini pandangan dan komitmen sosialnya begitu jelas, bahkan dari titik kepentingan yang paling menyentuh hajat orang banyak, yaitu pemenuhan kebutuhan ekonomi.
Secara umum zakat profesi menurut putusan Tarjih Muhammadiyah adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha yang halal yang dapat mendatangkan hasil atau uang, relatif banyak dengan cara yang halal dan mudah, baik melalui keahlian tertentu maupun tidak. Sedangkan dalam pemahaman Zamzami Ahmad, zakat profesi adalah zakat penghasilan yang didapat dan diterima dengan jalan yang halal dalam bentuk upah, honor ataupun gaji. (Inoed, 2005 : 50)
2. Sejarah Zakat Profesi
Zakat profesi merupakan salah satu kasus baru dalam fiqh (hukum Islam). Al-Quran dan al-Sunnah, tidak memuat aturan hukum yang tegas mengenai zakat profesi ini. Begitu juga ulama mujtahid seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi^i, dan Ahmad ibn Hanbal tidak pula memuat dalam kitab-kitab mereka mengenai zakat profesi ini.
Hal ini disebabkan oleh terbatasnya jenis-jenis usaha atau pekerjaan masyarakat pada masa Nabi dan imam mujtahid. Sedangkan hukum Islam itu sendiri adalah refleksi dari peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi ketika hukum itu ditetapkan.
Tidak munculnya berbagai jenis pekerjaan dan jasa atau yang disebut dengan profesi ini pada masa Nabi dan imam-imam mujtahid masa lalu, menjadikan zakat profesi tidak begitu dikenal (tidak familiar) dalam Sunnah dan kitab- kitab fiqh klasik. Dan adalah wajar apabila sekarang terjadi kontroversi dan perbedaan pendapat ulama di sekitar zakat profesi ini. Ada ulama yang mewajibkannya dan ada pula ulama yang secara apriori tidak mewajibkannya.
Namun demikian, sekalipun hukum mengenai zakat profesiini masih menjadi kontroversi dan belum begitu diketahui oleh masyarakat muslim pada umumnya dan kalangan profesional muslim di tanah air pada khususnya, kesadaran dan semangat untuk menyisihkan sebagian penghasilan sebagai zakat yang diyakininya sebagai kewajiban agama yang harus dikeluarkannya cukup tinggi. Forum diskusi ini barangkali bisa kita jadikan semacam indikasi bagaimana kalangan profesional kita sangat respek terhadap masalah zakat profesi ini.
Zakat profesi adalah masalah baru, tidak pernah ada dalam sepanjang sejarah Islam sejak masa Rasulullah SAW hingga tahun 60- an akhir pada abad ke-20 yang lalu, ketika mulai muncul gagasan zakat profesi ini. Penggagas zakat profesi adalah Syeikh Yusuf Qaradhawi dalam kitabnya Fiqh Az Zakah, yang cetakan pertamanya terbit tahun 1969. Namun nampaknya Yusuf Qaradhawi dalam hal ini mendapat pengaruh dari dua ulama lainnya, yaitu Syeikh Abdul Wahhab Khallaf dan Syeikh AbuZahrah.
Kajian dan praktik zakat profesi mulai marak di Indonesia kira-kira sejak tahun 90-an akhir dan awal tahun 2000-an. Khususnya setelah kitab Yusuf Qaradhawi tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Didin Hafidhuddin dengan judul Fikih Zakat yang terbit tahun 1999. Sejak saat itu zakat profesi mulai banyak diterapkan oleh lembaga pengelola zakat di Indonesia, baik BAZ (badan amil zakat) milik pemerintah, baik BASDA atau BASNAZ, maupun LAZ (lembaga amil zakat) milik swasta, seperti PKPU, Dompet Dhuafa, dan sebagainya.
