- Filantropi India-Amerika: Tradisi Menabur Perubahan dan Menginspirasi Berbagi
- Agar Produktif dan Melek Teknologi, Pemerintah Hadirkan Program Sekolah Lansia
- Kemenag Dorong Lebih Banyak Perempuan Ikut Beasiswa Indonesia Bangkit
- Ivan Gunawan dan BAZNAS Bawa Langsung Rp 2 M Donasi Palestina ke Mesir
- Hari Tani Nasional: Filantropi Islam untuk Kedaulatan Pangan
- Memperkuat Demokrasi melalui Ziswaf
- Mendamaikan Dunia dengan Filantropi Islam
- Saudara Sepersusuan: Hukum dan Batasannya Menurut Islam
- Destana Kembang dan Rumah Zakat Gelar Aksi Jaga Mangrove
- IZI Ringankan Biaya Pengobatan Ghaitsa, Pejuang Kecil Down Syndrome
Amarah ke Berkah: Kisah Haru Dua Sahabat
Tiara Febi Nurkhaulah

Keterangan Gambar : Dok: Asistensi AI
Di sebuah desa pesisir, dua sahabat lama, Hasan dan Umar, tiba-tiba berubah menjadi musuh. Penyebabnya sederhana namun menyakitkan: tanah warisan keluarga di perbatasan ladang mereka. Hasan bersikeras bahwa setengah dari lahan itu miliknya, sementara Umar menuduh Hasan serakah dan tidak jujur. Perdebatan kecil menjelma menjadi pertengkaran hebat. Warga desa pun terbagi dua kubu, saling membela tanpa mau mendengar alasan.
Hari-hari desa yang biasanya damai kini penuh bisik-bisik. Anak-anak takut bermain di sekitar ladang itu karena sering melihat kedua lelaki paruh baya itu berteriak, saling mengancam. Istri mereka menangis diam-diam, khawatir kebencian ini diwariskan kepada anak-anak.
Suatu sore, saat azan magrib menggema, keduanya bertemu di masjid. Imam desa, seorang ulama sepuh, memanggil mereka setelah salat. Dengan suara tenang, ia membaca ayat tentang persaudaraan dan mengingatkan bahwa harta akan habis, tetapi luka hati bisa diwariskan. “Jika kalian terus bertengkar, kalian bukan hanya kehilangan tanah, tapi juga keberkahan,” katanya.
Baca Lainnya :
- Zakat yang Mempertemukan Kembali0
- Sedekah yang Memadam Api Serakah 0
- Menjahit yang Terkoyak 0
- Rezeki yang Terbagi, Hati yang Tersambung0
- Lumbung Perdamaian0
Hening menyelimuti ruangan. Hasan menunduk, Umar terisak. Keduanya tiba-tiba menyadari betapa kecil perkara itu dibanding persahabatan yang telah mereka bangun puluhan tahun. Hasan menggenggam tangan Umar, “Maafkan aku, saudaraku.” Umar membalas erat, air mata mengalir.
Akhirnya, mereka sepakat membagi lahan untuk kepentingan bersama: separuh ditanami padi, separuh lagi jadi kebun wakaf desa. Warga bersorak lega. Desa kembali damai, dan dari ladang yang dulu menjadi sumber konflik, kini tumbuh padi yang subur sekaligus kebun yang memberi manfaat bagi semua.