- Filantropi India-Amerika: Tradisi Menabur Perubahan dan Menginspirasi Berbagi
- Agar Produktif dan Melek Teknologi, Pemerintah Hadirkan Program Sekolah Lansia
- Kemenag Dorong Lebih Banyak Perempuan Ikut Beasiswa Indonesia Bangkit
- Ivan Gunawan dan BAZNAS Bawa Langsung Rp 2 M Donasi Palestina ke Mesir
- Hari Tani Nasional: Filantropi Islam untuk Kedaulatan Pangan
- Memperkuat Demokrasi melalui Ziswaf
- Mendamaikan Dunia dengan Filantropi Islam
- Saudara Sepersusuan: Hukum dan Batasannya Menurut Islam
- Destana Kembang dan Rumah Zakat Gelar Aksi Jaga Mangrove
- IZI Ringankan Biaya Pengobatan Ghaitsa, Pejuang Kecil Down Syndrome
Rezeki yang Terbagi, Hati yang Tersambung
Putri Maritsa Ulfah

Keterangan Gambar : Foto: Asistensi AI
Desa itu ramai sejak subuh. Harga beras yang melambung tinggi membuat warga resah. Di balai desa, puluhan orang berkumpul, sebagian dengan wajah tegang, sebagian lagi membawa keresahan yang tak tertahankan.
“Bagaimana kami bisa makan, Pak? Harga beras naik terus. Bantuan pemerintah hanya sebentar habis,” keluh seorang ibu sambil menggendong anaknya.
Seorang pemuda bernama Rano maju dengan suara lantang. “Kita sudah bayar pajak, tapi tetap lapar! Di mana zakat itu? Kenapa hanya sebagian orang yang dapat?”
Baca Lainnya :
- Retak yang Berubah Menjadi Cahaya0
- Amarah ke Berkah: Kisah Haru Dua Sahabat0
- Zakat yang Mempertemukan Kembali0
- Sedekah yang Memadam Api Serakah 0
- Menjahit yang Terkoyak 0
Suasana riuh, hampir berubah jadi pertengkaran.
Di tengah keributan, Farhan—mahasiswa KKN yang ditugaskan BAZNAS—berdiri mencoba menenangkan. “Saudara-saudara, zakat punya aturan. Fakir, miskin, dan yatim piatu diprioritaskan. Tapi kenaikan harga beras ini memang darurat. Kita perlu cari solusi bersama.”
“Solusi? Jangan cuma teori, Mas! Perut kami ini kosong!” teriak seorang bapak, membuat ruangan semakin panas.
Sinta, rekan Farhan, melangkah maju. “Filantropi Islam tidak berhenti pada zakat. Ada infak, sedekah, wakaf. Jika kita saling bantu, tidak ada yang kelaparan.”
Ucapan itu sempat ditertawakan. “Mana mungkin, Bu? Semua orang sedang susah!”
Namun tiba-tiba seorang ibu bangkit dari sudut ruangan. Tubuhnya kurus, namun langkahnya tegas. Ia menenteng karung beras kecil. “Saya dapat zakat kemarin. Tapi saya ingin sedekahkan separuhnya untuk tetangga. Bukankah Nabi bersabda: tidak beriman seseorang yang tidur kenyang sementara saudaranya lapar?”
Ruangan mendadak hening. Semua mata tertuju pada karung beras itu.
Lalu, perlahan, seorang bapak maju, membuka tasnya, mengeluarkan dua liter beras. “Saya masih punya sedikit. Ambillah untuk siapa yang lebih butuh.”
Disusul pemuda yang sebelumnya marah. Ia menunduk, lalu menaruh setumpuk sayur hasil kebunnya di atas meja. “Maafkan saya. Saya terbawa emosi. Mari kita bagi sama rata.”
Satu demi satu, warga menambahkan apa yang mereka punya: minyak goreng, garam, bahkan telur ayam kampung. Dalam sekejap, meja balai desa penuh dengan bahan makanan.
Farhan tertegun, matanya berkaca-kaca. Ia berbisik pada Sinta, “Inilah yang dimaksud guru kami: filantropi Islam bukan soal siapa yang punya banyak, tapi siapa yang rela berbagi meski sedikit.”
Sinta tersenyum. “Benar, zakat hanyalah pintu pertama. Yang membuat hidup ini adil adalah keikhlasan kita menjaga sesama.”
Tangis haru pun pecah. Konflik yang semula membara mencair menjadi pelukan dan persaudaraan. Rano, yang paling keras menuntut tadi, mendekati ibu yang pertama kali memberi contoh. Ia menyalaminya dengan suara bergetar. “Terima kasih. Engkau yang miskin mengajar kami arti kaya.”
Hari itu, di tengah krisis beras yang mengguncang negeri, sebuah desa kecil menemukan kekuatannya sendiri. Dari zakat yang terbatas, lahir sedekah yang meluas. Dari keresahan, lahir persaudaraan.
Merah putih di balai desa berkibar sederhana, namun di bawahnya, warga mengerti: filantropi Islam adalah cahaya yang tak pernah padam—cinta, keadilan, dan pengorbanan yang membuat semua tetap bertahan.