Sedekah yang Memadam Api Serakah
Nurlaila Azizah

By Revolusioner 04 Sep 2025, 14:44:54 WIB Cerpen
Sedekah yang Memadam Api Serakah

Keterangan Gambar : Foto: Asistensi AI


Di Desa Mekar Jaya, musim panen selalu membawa harapan. Namun kebahagiaan itu tidak terasa merata. Hasil panen para petani kecil hampir semuanya jatuh ke tangan juragan kaya bernama Haji Karim. Ia membeli padi dengan harga murah, lalu menimbunnya di gudang besar. Saat musim paceklik datang, ia menjual dengan harga tinggi. Bagi sebagian orang, itu dianggap pintar berdagang. Tetapi bagi Fadli, pemuda desa yang tumbuh dalam ajaran bahwa rezeki adalah titipan Allah dan di dalamnya ada hak fakir miskin, sikap itu adalah bentuk keserakahan.

Suatu sore, Fadli memberanikan diri menemui Haji Karim. “Haji, bukankah Islam mengajarkan zakat, infak, sedekah, dan wakaf? Bukankah sebaiknya sebagian beras itu disalurkan untuk warga yang kesulitan?” katanya dengan hati-hati.

Namun, wajah Haji Karim memerah. “Jangan menggurui aku! Aku sudah bayar zakat resmi. Urusan bisnis bukan urusanmu!” bentaknya. Kata-kata itu bagai cambuk bagi Fadli. Ia pulang dengan dada sesak, tapi tekadnya justru menguat.

Baca Lainnya :

Melihat warga semakin susah, Fadli bersama pemuda desa mendirikan lumbung sederhana. Mereka mengumpulkan padi dari zakat, infak, dan sedekah seikhlasnya. Beras itu lalu dibagikan gratis bagi fakir miskin. Lumbung kecil itu menjadi cahaya harapan, bahkan beberapa orang kaya lain ikut menyalurkan wakaf. Namun, keberhasilan itu membuat Haji Karim merasa tersaingi. “Anak muda itu mempermalukan aku,” gumamnya penuh amarah.

Konflik memuncak ketika suatu malam, lumbung sedekah terbakar hebat. Api melahap seluruh isinya. Warga histeris dan tanpa bukti menuduh Haji Karim sebagai pelaku. Amarah meledak. Puluhan orang mengepung rumahnya, membawa obor, siap membakar gudangnya.

Fadli berlari ke tengah kerumunan, berteriak, “Jangan balas api dengan api!” Namun, massa yang marah sulit dikendalikan. Saat itu, Ustaz Salman, tokoh agama, datang dan berseru lantang, “Ingatlah, zakat dan sedekah adalah ibadah! Apakah kita hendak merusak amal dengan amarah? Jangan biarkan setan menang!” Suasana hening. Obor diturunkan satu per satu.

Keesokan hari, terbukti kebakaran disebabkan lampu minyak yang jatuh, bukan ulah Haji Karim. Warga malu, sementara Fadli menunduk penuh sesal karena sempat ikut menyimpan curiga. Namun peristiwa itu justru menggugah hati sang juragan. Ia datang ke rumah Fadli dengan wajah tertunduk. “Fadli, aku salah. Aku terlalu angkuh dan buta terhadap penderitaan. Mulai hari ini separuh padiku akan kuserahkan untuk lumbung sedekah. Bahkan satu gudang akan aku wakafkan untuk desa.”

Air mata Fadli menggenang. “Alhamdulillah, Haji. Bukan aku yang mengajarkan, tapi Islam yang mengingatkan kita. Kita hanyalah perantara rezeki Allah.”

Sejak saat itu, Desa Mekar Jaya berubah. Lumbung sedekah dikelola bersama, zakat dan wakaf disalurkan tepat sasaran, fakir miskin tidak lagi kelaparan, dan anak-anak desa mendapat beasiswa. Fadli dan Haji Karim yang dulu bermusuhan kini duduk bersama merencanakan program kebaikan. Dari konflik yang nyaris membakar desa, lahirlah persatuan. Dari keserakahan yang hampir memecah belah, lahirlah berkah.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment