- Filantropi India-Amerika: Tradisi Menabur Perubahan dan Menginspirasi Berbagi
- Agar Produktif dan Melek Teknologi, Pemerintah Hadirkan Program Sekolah Lansia
- Kemenag Dorong Lebih Banyak Perempuan Ikut Beasiswa Indonesia Bangkit
- Ivan Gunawan dan BAZNAS Bawa Langsung Rp 2 M Donasi Palestina ke Mesir
- Hari Tani Nasional: Filantropi Islam untuk Kedaulatan Pangan
- Memperkuat Demokrasi melalui Ziswaf
- Mendamaikan Dunia dengan Filantropi Islam
- Saudara Sepersusuan: Hukum dan Batasannya Menurut Islam
- Destana Kembang dan Rumah Zakat Gelar Aksi Jaga Mangrove
- IZI Ringankan Biaya Pengobatan Ghaitsa, Pejuang Kecil Down Syndrome
Sedekah yang Memadam Api Serakah
Nurlaila Azizah

Keterangan Gambar : Foto: Asistensi AI
Di Desa Mekar Jaya, musim panen
selalu membawa harapan. Namun kebahagiaan itu tidak terasa merata. Hasil panen
para petani kecil hampir semuanya jatuh ke tangan juragan kaya bernama Haji
Karim. Ia membeli padi dengan harga murah, lalu menimbunnya di gudang besar.
Saat musim paceklik datang, ia menjual dengan harga tinggi. Bagi sebagian
orang, itu dianggap pintar berdagang. Tetapi bagi Fadli, pemuda desa yang
tumbuh dalam ajaran bahwa rezeki adalah titipan Allah dan di dalamnya ada
hak fakir miskin, sikap itu adalah bentuk keserakahan.
Suatu sore, Fadli memberanikan
diri menemui Haji Karim. “Haji, bukankah Islam mengajarkan zakat, infak,
sedekah, dan wakaf? Bukankah sebaiknya sebagian beras itu disalurkan untuk
warga yang kesulitan?” katanya dengan hati-hati.
Namun, wajah Haji Karim memerah.
“Jangan menggurui aku! Aku sudah bayar zakat resmi. Urusan bisnis bukan
urusanmu!” bentaknya. Kata-kata itu bagai cambuk bagi Fadli. Ia pulang dengan
dada sesak, tapi tekadnya justru menguat.
Baca Lainnya :
- Menjahit yang Terkoyak 0
- Rezeki yang Terbagi, Hati yang Tersambung0
- Lumbung Perdamaian0
- Berkah yang Terselubung0
- Air Mata di Balik Sedekah Seorang Nenek0
Melihat warga semakin susah,
Fadli bersama pemuda desa mendirikan lumbung sederhana. Mereka mengumpulkan
padi dari zakat, infak, dan sedekah seikhlasnya. Beras itu lalu dibagikan
gratis bagi fakir miskin. Lumbung kecil itu menjadi cahaya harapan, bahkan beberapa
orang kaya lain ikut menyalurkan wakaf. Namun, keberhasilan itu membuat Haji
Karim merasa tersaingi. “Anak muda itu mempermalukan aku,” gumamnya penuh
amarah.
Konflik memuncak ketika suatu
malam, lumbung sedekah terbakar hebat. Api melahap seluruh isinya. Warga
histeris dan tanpa bukti menuduh Haji Karim sebagai pelaku. Amarah meledak.
Puluhan orang mengepung rumahnya, membawa obor, siap membakar gudangnya.
Fadli berlari ke tengah
kerumunan, berteriak, “Jangan balas api dengan api!” Namun, massa yang marah
sulit dikendalikan. Saat itu, Ustaz Salman, tokoh agama, datang dan berseru
lantang, “Ingatlah, zakat dan sedekah adalah ibadah! Apakah kita hendak merusak
amal dengan amarah? Jangan biarkan setan menang!” Suasana hening. Obor
diturunkan satu per satu.
Keesokan hari, terbukti kebakaran
disebabkan lampu minyak yang jatuh, bukan ulah Haji Karim. Warga malu,
sementara Fadli menunduk penuh sesal karena sempat ikut menyimpan curiga. Namun
peristiwa itu justru menggugah hati sang juragan. Ia datang ke rumah Fadli
dengan wajah tertunduk. “Fadli, aku salah. Aku terlalu angkuh dan buta terhadap
penderitaan. Mulai hari ini separuh padiku akan kuserahkan untuk lumbung
sedekah. Bahkan satu gudang akan aku wakafkan untuk desa.”
Air mata Fadli menggenang.
“Alhamdulillah, Haji. Bukan aku yang mengajarkan, tapi Islam yang mengingatkan
kita. Kita hanyalah perantara rezeki Allah.”
Sejak saat itu, Desa Mekar Jaya
berubah. Lumbung sedekah dikelola bersama, zakat dan wakaf disalurkan tepat
sasaran, fakir miskin tidak lagi kelaparan, dan anak-anak desa mendapat
beasiswa. Fadli dan Haji Karim yang dulu bermusuhan kini duduk bersama merencanakan
program kebaikan. Dari konflik yang nyaris membakar desa, lahirlah persatuan.
Dari keserakahan yang hampir memecah belah, lahirlah berkah.