- Filantropi India-Amerika: Tradisi Menabur Perubahan dan Menginspirasi Berbagi
- Agar Produktif dan Melek Teknologi, Pemerintah Hadirkan Program Sekolah Lansia
- Kemenag Dorong Lebih Banyak Perempuan Ikut Beasiswa Indonesia Bangkit
- Ivan Gunawan dan BAZNAS Bawa Langsung Rp 2 M Donasi Palestina ke Mesir
- Hari Tani Nasional: Filantropi Islam untuk Kedaulatan Pangan
- Memperkuat Demokrasi melalui Ziswaf
- Mendamaikan Dunia dengan Filantropi Islam
- Saudara Sepersusuan: Hukum dan Batasannya Menurut Islam
- Destana Kembang dan Rumah Zakat Gelar Aksi Jaga Mangrove
- IZI Ringankan Biaya Pengobatan Ghaitsa, Pejuang Kecil Down Syndrome
Retak yang Berubah Menjadi Cahaya
Rachma Dwiyanti

Keterangan Gambar : Foto: Asistensi AI
Suara ombak adalah nyanyian abadi kota pesisir itu. Setiap pagi, angin laut membawa aroma asin yang berpadu dengan hiruk-pikuk pasar ikan. Nelayan berteriak menawarkan hasil tangkapan, ibu-ibu menawar dengan sabar, dan anak-anak berlarian sambil tertawa riang. Kehidupan keras tapi penuh warna. Di tengah kota kecil itu, ada dua nama yang selalu melekat dalam percakapan tentang kebaikan: Arif dan Fikri.
Dulu mereka sahabat karib. Semasa kuliah, keduanya sering
duduk di teras masjid kampus, berdiskusi hingga larut malam tentang cita-cita
besar mereka: menjadikan zakat, infak, dan sedekah sebagai jalan menghapus
kemiskinan. Mereka bercita-cita mendirikan lembaga yang tak hanya menyalurkan
uang, tapi juga mengubah wajah masyarakat. “Bayangkan, Rif,” kata Fikri suatu
malam sambil menatap langit berbintang, “jika setiap orang kaya menyalurkan
zakatnya dengan benar, tak ada lagi anak yang tidur dalam lapar.” Arif
mengangguk, matanya penuh semangat. “Dan bayangkan, Fik, jika sistemnya
transparan, orang akan percaya dan zakat bisa jadi kekuatan ekonomi umat.”
Mereka berdua tertawa, membayangkan masa depan yang gemilang.
Namun, waktu punya cara sendiri untuk menguji mimpi. Setelah
lulus, Arif mendapat kesempatan melanjutkan studi ke luar negeri. Ia
mempelajari sistem filantropi modern, manajemen keuangan digital, dan teknologi
data. Ketika pulang, ia mendirikan sebuah lembaga zakat dengan sistem canggih.
Aplikasi khusus dibuat agar umat bisa menghitung zakat otomatis, transfer
digital, hingga laporan real-time yang bisa diakses siapa pun. Ia percaya,
tanpa sistem, kebaikan rawan disalahgunakan. “Transparansi adalah kunci,” ucapnya
pada setiap seminar.
Baca Lainnya :
- BAZNAS Tanggulangi Anemia pada Remaja Putri Yogyakarta 0
- Catatan Sedekah Ibu0
- Kisah Cinta yang Tumbuh di Tengah Reruntuhan0
- Chapman Taylor, Filantroper yang Dipuji Menkeu Sri Mulyani0
Sementara itu, Fikri memilih jalan berbeda. Ia mewarisi
yayasan sederhana dari ayahnya, seorang ulama kampung yang selama hidupnya
dicintai masyarakat karena ketulusannya. Yayasan itu mengandalkan relawan
lapangan, mengumpulkan donasi dari jamaah masjid, lalu menyalurkannya langsung
ke rumah-rumah warga miskin. Fikri percaya bahwa filantropi adalah soal rasa,
bukan sekadar angka. “Kalau kebaikan dibuat seperti mesin, di mana letak
kehangatannya?” katanya pada relawannya ketika mereka mengantarkan sembako ke
gang-gang sempit.
Dua jalan itu perlahan berubah menjadi jurang. Arif menilai
yayasan Fikri tidak efisien, rawan salah sasaran, bahkan berpotensi
disalahgunakan. Fikri menilai lembaga Arif terlalu kaku, penuh grafik dan
tabel, kehilangan sentuhan ikhlas. “Zakat bukan sekadar laporan, Rif. Zakat
adalah doa yang terucap dari bibir orang kecil ketika perut mereka terisi,”
kata Fikri dengan nada getir. “Dan doa itu justru lebih tulus kalau prosesnya
jelas, Fik. Kita hidup di zaman modern, umat butuh kepercayaan,” balas Arif dingin.
Masyarakat pun ikut terbagi. Sebagian mendukung Arif karena
profesionalisme dan transparansi, sebagian membela Fikri karena kedekatannya
dengan warga. Persahabatan lama itu retak. Mereka berhenti menyebut nama satu
sama lain dalam forum, berhenti saling menyapa di jalan. Waktu yang dulu diisi
tawa kini digantikan dengan jarak.
Hingga suatu hari, langit pesisir berubah muram. Angin
kencang berhembus, ombak menghantam pantai dengan keras. Dalam semalam, badai
besar menghancurkan puluhan perahu nelayan, merobohkan rumah-rumah kayu, dan
meluluhlantakkan pasar ikan. Ratusan keluarga kehilangan penghasilan. Pagi
setelah badai, kota itu sunyi dan muram. Pasar yang biasanya riuh kini kosong,
hanya tersisa serpihan kayu dan wajah-wajah putus asa.
Warga berbondong-bondong meminta bantuan. Arif segera
menggerakkan timnya, tapi ia menahan penyaluran. “Data penerima belum lengkap.
Kita harus pastikan bantuan adil, jangan sampai ada yang menerima ganda,”
katanya. Fikri langsung mengerahkan relawan, membagikan sembako seadanya dari
gudang kecilnya. Namun stok mereka cepat habis. Arif menawarkan dana besar,
tapi Fikri menolak. “Aku tak mau warga diperlakukan seperti angka dalam tabel.
Mereka manusia, Rif, bukan baris data.” Pertentangan itu makin tajam.
Lalu tragedi kecil tapi menyayat terjadi. Seorang anak
nelayan bernama Raka jatuh sakit parah. Ibunya tak mampu membeli obat
sederhana, sementara bantuan menumpuk di gudang tapi tak kunjung sampai. Kabar
itu menyebar cepat. Warga marah. Di depan balai desa, seorang ibu berteriak
dengan suara bergetar, “Apa gunanya zakat kalau kalian sibuk bertengkar? Anak
kami sakit, perut kami lapar!” Suaranya menembus hati banyak orang.
Arif yang sedang menatap grafik donasi di laptopnya terdiam
lama. Donasi menumpuk, tapi tak satu pun bergerak. Dadanya sesak. “Apakah aku
terlalu kaku? Apakah aku lupa bahwa manusia tidak bisa menunggu?” gumamnya. Di
sisi lain, Fikri duduk di gudangnya. Beras dan obat bantuan menumpuk, tapi tak
cukup menjangkau semua keluarga. Relawan melapor dengan wajah cemas. Fikri
menatap tumpukan itu dengan mata berkaca. “Aku terlalu keras kepala. Aku pikir
caraku paling benar, padahal aku butuh bantuan.”
Malam itu, langkah Arif membawanya ke rumah Fikri. Pintu
terbuka, tatapan mereka bertemu. Sunyi, hanya bunyi ombak dari kejauhan. Arif
menarik napas panjang. “Aku salah, Fik. Aku sibuk dengan data, lupa bahwa
manusia sedang menderita.” Suaranya berat, seperti menahan beban. Fikri
menunduk. “Aku pun salah, Rif. Aku terlalu menjaga warisan ayah, sampai menutup
mata dari perubahan. Aku pikir caraku paling suci, padahal tanpa sistem,
bantuan bisa kacau.” Air mata menetes. Mereka berpelukan, bukan karena kalah atau
menang, melainkan karena sadar: ego mereka telah melukai orang yang paling
membutuhkan.
Keesokan harinya, mereka berdiri bersama di depan warga. Arif
menyalakan sistem digitalnya, membuka laporan transparansi yang bisa diakses
semua donatur. Warga dapat melihat dengan jelas siapa yang menerima, kapan, dan
dalam bentuk apa. Fikri mengerahkan jaringan relawannya, menyusuri
lorong-lorong sempit, mengetuk pintu rumah, menyampaikan bantuan sambil menatap
mata penerima dengan senyum hangat. Data dan hati akhirnya bersatu.
Bantuan pun mengalir deras. Perahu nelayan diperbaiki,
rumah-rumah yang roboh dibangun kembali, anak-anak bisa sekolah tanpa
kelaparan, dan obat tersedia di posko kesehatan. Warga menyaksikan itu semua
dengan lega. Kepercayaan yang sempat runtuh kini tumbuh kembali, lebih kuat
dari sebelumnya. Seorang relawan muda berkomentar, “Lihatlah, ketika data
bertemu hati, kebaikan jadi sempurna.”
Hari-hari berikutnya, kota itu perlahan pulih. Namun, yang
paling berarti bukanlah sembako atau obat-obatan, melainkan pelajaran berharga:
filantropi bukan tentang metode siapa yang paling benar, melainkan tentang
ketulusan melayani. Sistem tanpa hati hanyalah mesin dingin. Hati tanpa sistem
hanyalah niat yang rapuh.
Kini, setiap kali ada bencana, Arif dan Fikri selalu berdiri
berdampingan. Arif dengan laptopnya, Fikri dengan relawannya. Warga menyebut
mereka “Dua Cahaya Pesisir.” Luka lama yang sempat meretakkan persaudaraan
berubah menjadi pelita, cahaya yang menerangi jalan baru dalam memberi. Dan di
tengah kota kecil itu, setiap orang tahu bahwa kebaikan sejati lahir ketika
logika dan rasa bersatu demi mereka yang paling membutuhkan.