Retak yang Berubah Menjadi Cahaya
Rachma Dwiyanti

By Revolusioner 08 Sep 2025, 14:00:31 WIB Filantropi
Retak yang Berubah Menjadi Cahaya

Keterangan Gambar : Foto: Asistensi AI


Suara ombak adalah nyanyian abadi kota pesisir itu. Setiap pagi, angin laut membawa aroma asin yang berpadu dengan hiruk-pikuk pasar ikan. Nelayan berteriak menawarkan hasil tangkapan, ibu-ibu menawar dengan sabar, dan anak-anak berlarian sambil tertawa riang. Kehidupan keras tapi penuh warna. Di tengah kota kecil itu, ada dua nama yang selalu melekat dalam percakapan tentang kebaikan: Arif dan Fikri.

Dulu mereka sahabat karib. Semasa kuliah, keduanya sering duduk di teras masjid kampus, berdiskusi hingga larut malam tentang cita-cita besar mereka: menjadikan zakat, infak, dan sedekah sebagai jalan menghapus kemiskinan. Mereka bercita-cita mendirikan lembaga yang tak hanya menyalurkan uang, tapi juga mengubah wajah masyarakat. “Bayangkan, Rif,” kata Fikri suatu malam sambil menatap langit berbintang, “jika setiap orang kaya menyalurkan zakatnya dengan benar, tak ada lagi anak yang tidur dalam lapar.” Arif mengangguk, matanya penuh semangat. “Dan bayangkan, Fik, jika sistemnya transparan, orang akan percaya dan zakat bisa jadi kekuatan ekonomi umat.” Mereka berdua tertawa, membayangkan masa depan yang gemilang.

Namun, waktu punya cara sendiri untuk menguji mimpi. Setelah lulus, Arif mendapat kesempatan melanjutkan studi ke luar negeri. Ia mempelajari sistem filantropi modern, manajemen keuangan digital, dan teknologi data. Ketika pulang, ia mendirikan sebuah lembaga zakat dengan sistem canggih. Aplikasi khusus dibuat agar umat bisa menghitung zakat otomatis, transfer digital, hingga laporan real-time yang bisa diakses siapa pun. Ia percaya, tanpa sistem, kebaikan rawan disalahgunakan. “Transparansi adalah kunci,” ucapnya pada setiap seminar.

Baca Lainnya :

Sementara itu, Fikri memilih jalan berbeda. Ia mewarisi yayasan sederhana dari ayahnya, seorang ulama kampung yang selama hidupnya dicintai masyarakat karena ketulusannya. Yayasan itu mengandalkan relawan lapangan, mengumpulkan donasi dari jamaah masjid, lalu menyalurkannya langsung ke rumah-rumah warga miskin. Fikri percaya bahwa filantropi adalah soal rasa, bukan sekadar angka. “Kalau kebaikan dibuat seperti mesin, di mana letak kehangatannya?” katanya pada relawannya ketika mereka mengantarkan sembako ke gang-gang sempit.

Dua jalan itu perlahan berubah menjadi jurang. Arif menilai yayasan Fikri tidak efisien, rawan salah sasaran, bahkan berpotensi disalahgunakan. Fikri menilai lembaga Arif terlalu kaku, penuh grafik dan tabel, kehilangan sentuhan ikhlas. “Zakat bukan sekadar laporan, Rif. Zakat adalah doa yang terucap dari bibir orang kecil ketika perut mereka terisi,” kata Fikri dengan nada getir. “Dan doa itu justru lebih tulus kalau prosesnya jelas, Fik. Kita hidup di zaman modern, umat butuh kepercayaan,” balas Arif dingin.

Masyarakat pun ikut terbagi. Sebagian mendukung Arif karena profesionalisme dan transparansi, sebagian membela Fikri karena kedekatannya dengan warga. Persahabatan lama itu retak. Mereka berhenti menyebut nama satu sama lain dalam forum, berhenti saling menyapa di jalan. Waktu yang dulu diisi tawa kini digantikan dengan jarak.

Hingga suatu hari, langit pesisir berubah muram. Angin kencang berhembus, ombak menghantam pantai dengan keras. Dalam semalam, badai besar menghancurkan puluhan perahu nelayan, merobohkan rumah-rumah kayu, dan meluluhlantakkan pasar ikan. Ratusan keluarga kehilangan penghasilan. Pagi setelah badai, kota itu sunyi dan muram. Pasar yang biasanya riuh kini kosong, hanya tersisa serpihan kayu dan wajah-wajah putus asa.

Warga berbondong-bondong meminta bantuan. Arif segera menggerakkan timnya, tapi ia menahan penyaluran. “Data penerima belum lengkap. Kita harus pastikan bantuan adil, jangan sampai ada yang menerima ganda,” katanya. Fikri langsung mengerahkan relawan, membagikan sembako seadanya dari gudang kecilnya. Namun stok mereka cepat habis. Arif menawarkan dana besar, tapi Fikri menolak. “Aku tak mau warga diperlakukan seperti angka dalam tabel. Mereka manusia, Rif, bukan baris data.” Pertentangan itu makin tajam.

Lalu tragedi kecil tapi menyayat terjadi. Seorang anak nelayan bernama Raka jatuh sakit parah. Ibunya tak mampu membeli obat sederhana, sementara bantuan menumpuk di gudang tapi tak kunjung sampai. Kabar itu menyebar cepat. Warga marah. Di depan balai desa, seorang ibu berteriak dengan suara bergetar, “Apa gunanya zakat kalau kalian sibuk bertengkar? Anak kami sakit, perut kami lapar!” Suaranya menembus hati banyak orang.

Arif yang sedang menatap grafik donasi di laptopnya terdiam lama. Donasi menumpuk, tapi tak satu pun bergerak. Dadanya sesak. “Apakah aku terlalu kaku? Apakah aku lupa bahwa manusia tidak bisa menunggu?” gumamnya. Di sisi lain, Fikri duduk di gudangnya. Beras dan obat bantuan menumpuk, tapi tak cukup menjangkau semua keluarga. Relawan melapor dengan wajah cemas. Fikri menatap tumpukan itu dengan mata berkaca. “Aku terlalu keras kepala. Aku pikir caraku paling benar, padahal aku butuh bantuan.”

Malam itu, langkah Arif membawanya ke rumah Fikri. Pintu terbuka, tatapan mereka bertemu. Sunyi, hanya bunyi ombak dari kejauhan. Arif menarik napas panjang. “Aku salah, Fik. Aku sibuk dengan data, lupa bahwa manusia sedang menderita.” Suaranya berat, seperti menahan beban. Fikri menunduk. “Aku pun salah, Rif. Aku terlalu menjaga warisan ayah, sampai menutup mata dari perubahan. Aku pikir caraku paling suci, padahal tanpa sistem, bantuan bisa kacau.” Air mata menetes. Mereka berpelukan, bukan karena kalah atau menang, melainkan karena sadar: ego mereka telah melukai orang yang paling membutuhkan.

Keesokan harinya, mereka berdiri bersama di depan warga. Arif menyalakan sistem digitalnya, membuka laporan transparansi yang bisa diakses semua donatur. Warga dapat melihat dengan jelas siapa yang menerima, kapan, dan dalam bentuk apa. Fikri mengerahkan jaringan relawannya, menyusuri lorong-lorong sempit, mengetuk pintu rumah, menyampaikan bantuan sambil menatap mata penerima dengan senyum hangat. Data dan hati akhirnya bersatu.

Bantuan pun mengalir deras. Perahu nelayan diperbaiki, rumah-rumah yang roboh dibangun kembali, anak-anak bisa sekolah tanpa kelaparan, dan obat tersedia di posko kesehatan. Warga menyaksikan itu semua dengan lega. Kepercayaan yang sempat runtuh kini tumbuh kembali, lebih kuat dari sebelumnya. Seorang relawan muda berkomentar, “Lihatlah, ketika data bertemu hati, kebaikan jadi sempurna.”

Hari-hari berikutnya, kota itu perlahan pulih. Namun, yang paling berarti bukanlah sembako atau obat-obatan, melainkan pelajaran berharga: filantropi bukan tentang metode siapa yang paling benar, melainkan tentang ketulusan melayani. Sistem tanpa hati hanyalah mesin dingin. Hati tanpa sistem hanyalah niat yang rapuh.

Kini, setiap kali ada bencana, Arif dan Fikri selalu berdiri berdampingan. Arif dengan laptopnya, Fikri dengan relawannya. Warga menyebut mereka “Dua Cahaya Pesisir.” Luka lama yang sempat meretakkan persaudaraan berubah menjadi pelita, cahaya yang menerangi jalan baru dalam memberi. Dan di tengah kota kecil itu, setiap orang tahu bahwa kebaikan sejati lahir ketika logika dan rasa bersatu demi mereka yang paling membutuhkan.

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment