- Filantropi India-Amerika: Tradisi Menabur Perubahan dan Menginspirasi Berbagi
- Agar Produktif dan Melek Teknologi, Pemerintah Hadirkan Program Sekolah Lansia
- Kemenag Dorong Lebih Banyak Perempuan Ikut Beasiswa Indonesia Bangkit
- Ivan Gunawan dan BAZNAS Bawa Langsung Rp 2 M Donasi Palestina ke Mesir
- Hari Tani Nasional: Filantropi Islam untuk Kedaulatan Pangan
- Memperkuat Demokrasi melalui Ziswaf
- Mendamaikan Dunia dengan Filantropi Islam
- Saudara Sepersusuan: Hukum dan Batasannya Menurut Islam
- Destana Kembang dan Rumah Zakat Gelar Aksi Jaga Mangrove
- IZI Ringankan Biaya Pengobatan Ghaitsa, Pejuang Kecil Down Syndrome
Hari Tani Nasional: Filantropi Islam untuk Kedaulatan Pangan
Khesya Putri

Setiap tanggal 24 September, bangsa Indonesia memperingati Hari Tani Nasional. Peringatan ini bukan sekadar seremoni, melainkan pengingat akan perjuangan panjang petani Indonesia yang menjadi tulang punggung ketahanan pangan. Ironisnya, di balik peran vital mereka, petani justru sering berada di barisan paling rentan: lahan yang sempit, akses modal terbatas, harga hasil panen tidak menentu, hingga ancaman perubahan iklim. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan mayoritas petani kita adalah petani gurem dengan kepemilikan lahan di bawah 0,5 hektare. Situasi ini membuat mereka sulit berkembang dan keluar dari lingkaran kemiskinan. Sementara itu, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB masih signifikan, artinya negara tetap bergantung pada keringat petani. Di sinilah kontradiksi itu muncul: petani berperan besar, tetapi kesejahteraan mereka justru tertinggal. Dalam konteks inilah, filantropi Islam hadir sebagai kekuatan sosial yang dapat membantu menjembatani kesenjangan. Islam menekankan pentingnya zakat, infak, sedekah, dan wakaf sebagai instrumen distribusi kekayaan yang adil. Lembaga seperti Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) telah membuktikan bahwa dana umat dapat dikelola untuk memperkuat sektor pertanian. Program-program BAZNAS, seperti Zakat Community Development (ZCD), telah menyasar kelompok tani dengan memberikan bantuan modal, pelatihan, hingga pendampingan pengelolaan hasil panen. Tidak hanya sekadar bantuan konsumtif, pendekatan ini mendorong kemandirian petani. Misalnya, petani binaan di beberapa daerah sudah mampu menghasilkan produk pertanian organik yang bernilai jual lebih tinggi. Ada pula yang didorong mengembangkan pertanian modern berbasis teknologi sederhana agar lebih efisien. Di sisi lain, wakaf produktif juga mulai diarahkan untuk mendukung lahan pertanian, pengadaan alat, hingga pembangunan irigasi. Skema ini sangat relevan dengan cita-cita reforma agraria yang menjadi semangat awal lahirnya Hari Tani Nasional pada 1960, ketika Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diundangkan. Jika reforma agraria menekankan pemerataan tanah, maka filantropi Islam memperkuat aspek keberlanjutan ekonomi petani kecil. Penting untuk dipahami bahwa filantropi Islam bukanlah substitusi atas kewajiban negara. Negara tetap memiliki tanggung jawab utama menyejahterakan petani. Namun, zakat dan wakaf bisa menjadi mitra strategis: mengisi celah kebijakan, mempercepat pemberdayaan, dan memastikan hasil panen tidak berhenti di sawah, melainkan sampai ke meja makan masyarakat dengan harga yang adil. Kedepannya, kolaborasi multipihak menjadi kunci. Bayangkan jika sebagian potensi zakat nasional yang mencapai ratusan triliun rupiah bisa dialokasikan untuk sektor pertanian. Modal usaha tani akan lebih mudah diakses, gudang penyimpanan dan pengolahan hasil bisa dibangun di desa, dan produk petani bisa dipasarkan lewat ekosistem digital. Dengan begitu, petani tidak lagi hanya sebagai penyedia bahan pangan mentah, tetapi juga bagian dari rantai nilai yang lebih menguntungkan. Hari Tani Nasional adalah momentum untuk merefleksikan kembali posisi petani. Mereka bukan sekadar pekerja yang menggarap tanah, melainkan penjaga keberlangsungan hidup bangsa. Sudah seharusnya kita menempatkan mereka pada posisi terhormat, dengan dukungan kebijakan negara yang kuat dan kontribusi masyarakat melalui filantropi Islam. Jika zakat bisa menyekolahkan anak yatim, mengobati yang sakit, dan membantu fakir miskin, maka zakat juga bisa dan seharusnya mensejahterakan petani. Karena dengan petani yang sejahtera, umat akan terjamin pangannya. Dan dengan pangan yang cukup dan berkeadilan, kedaulatan bangsa bisa ditegakkan. Hari Tani Nasional bukan sekadar memperingati masa lalu, melainkan meneguhkan tekad untuk menata masa depan. Inilah saatnya kita menabur keadilan melalui filantropi Islam, agar kelak bangsa ini menuai kedaulatan pangan yang sejati. Baca Lainnya :