Mendamaikan Dunia dengan Filantropi Islam
Olivia Fitrianih

By Revolusioner 15 Sep 2025, 16:08:54 WIB Opini
Mendamaikan Dunia dengan Filantropi Islam

Keterangan Gambar : Dok: Asistensi AI


Setiap tanggal 21 September, dunia memperingati Hari Perdamaian Internasional yang dideklarasikan Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak tahun 1981. Hari ini menjadi simbol komitmen global untuk menghentikan kekerasan, mendorong gencatan senjata, dan membangun harmoni di antara umat manusia.

Namun, ketika berbicara tentang perdamaian, pikiran kita sering tertuju pada meja perundingan diplomatik, pasukan penjaga perdamaian yang dikirim ke daerah konflik, atau resolusi politik yang dibacakan di forum internasional.

Padahal, perdamaian sejati tidak akan pernah hadir jika hanya berhenti di ranah formalitas politik. Perdamaian yang kokoh lahir dari keadilan sosial, tercukupinya kebutuhan dasar manusia, hilangnya ketimpangan, dan adanya rasa solidaritas di antara sesama. Tanpa fondasi tersebut, perdamaian hanya menjadi slogan indah yang rapuh ketika berhadapan dengan kenyataan hidup sehari-hari.

Baca Lainnya :

Islam sejak awal menempatkan perdamaian sebagai inti ajarannya. Kata “Islam” sendiri berasal dari akar kata silm yang berarti damai dan selamat. Al-Quran berulang kali menekankan pentingnya hidup damai, menegakkan keadilan, dan menjauhi permusuhan.

Rasulullah SAW mengajarkan umatnya untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya bagi kelompok tertentu. Dalam surah Al-Hujurat ayat 13, Allah menegaskan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal, bukan saling membenci.

Hadis-hadis Nabi juga menggarisbawahi bahwa seorang muslim sejati adalah yang mampu menjaga lisan dan tangannya dari menyakiti orang lain. Dengan demikian, Islam memberikan kerangka moral dan spiritual yang jelas: perdamaian adalah bagian dari iman, dan konflik harus diselesaikan dengan cara adil.

Salah satu instrumen penting yang ditawarkan Islam untuk menjaga perdamaian sosial adalah filantropi. Zakat, infak, sedekah, dan wakaf bukan sekadar ritual ibadah, melainkan pilar ekonomi sosial yang bertujuan menciptakan keadilan distribusi dan kesejahteraan bersama.

Zakat, khususnya, adalah kewajiban yang bersifat mengikat. Setiap muslim yang mampu wajib menyisihkan sebagian hartanya untuk disalurkan kepada yang berhak. Dengan begitu, jurang antara si kaya dan si miskin dapat dipersempit.

Infak dan sedekah menambah ruang bagi kedermawanan sukarela, sementara wakaf menjadi instrumen jangka panjang yang menopang pembangunan berkelanjutan. Dalam konteks perdamaian internasional, instrumen-instrumen ini dapat menjadi solusi praktis untuk mengurangi ketidakadilan ekonomi yang sering menjadi sumber konflik.

Indonesia, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, memiliki potensi zakat yang sangat besar. Menurut riset BAZNAS, potensi zakat nasional diperkirakan mencapai lebih dari Rp300 triliun per tahun. Namun, realisasi penghimpunannya baru sekitar 10–13% dari jumlah tersebut. Artinya, ada ruang luar biasa besar untuk menggali potensi ini demi kesejahteraan masyarakat.

Bayangkan jika zakat dikelola secara optimal, dana ratusan triliun rupiah setiap tahun bisa dialokasikan untuk mengurangi kemiskinan, meningkatkan akses pendidikan, memperbaiki layanan kesehatan, hingga menciptakan lapangan kerja baru. Jika semua kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi, konflik sosial yang sering berakar dari kesenjangan ekonomi dapat diminimalisir. Inilah mengapa zakat tidak hanya menjadi kewajiban individu, melainkan juga strategi pembangunan nasional yang selaras dengan cita-cita perdamaian global.

Salah satu bukti konkret bagaimana zakat dapat diolah menjadi program produktif adalah inisiatif BAZNAS melalui program ZAuto. Program ini dirancang untuk memberdayakan mustahik di bidang otomotif, baik sebagai mekanik maupun wirausaha bengkel. Tidak berhenti pada pemberian modal, program ini melibatkan pelatihan teknis, manajemen usaha, hingga strategi pemasaran modern. Dengan cara ini, zakat benar-benar menjadi alat transformasi sosial yang berkelanjutan. Mustahik tidak lagi menjadi penerima bantuan pasif, tetapi berubah menjadi pelaku ekonomi aktif yang mandiri.

Zakat memiliki keterkaitan erat dengan agenda global Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan PBB. Setidaknya ada tujuh tujuan utama SDGs yang sejalan dengan semangat zakat: pengentasan kemiskinan, penghapusan kelaparan, peningkatan kesehatan, pendidikan berkualitas, pekerjaan layak, pengurangan kesenjangan, serta perdamaian dan keadilan sosial.

Dengan kata lain, filantropi Islam bukan hanya instrumen keagamaan, tetapi juga strategi pembangunan global yang relevan hingga hari ini. Bedanya, zakat lahir dari keyakinan agama yang melekat kuat dalam hati umat Islam, sehingga komitmennya lebih terjaga dibandingkan sekadar instrumen kebijakan.

Namun, perdamaian internasional sering kali dipandang sebagai urusan elit politik global. Kita lupa bahwa perdamaian dapat dibangun dari langkah kecil yang dampaknya meluas. Ketika seorang mustahik bangkit dari kemiskinan, ia berkontribusi terhadap stabilitas sosial. Ketika sebuah keluarga tidak lagi kelaparan berkat zakat pangan, mereka terhindar dari konflik internal.

Ketika sebuah desa memiliki generasi muda yang bisa bersekolah karena zakat pendidikan, masa depan desa itu menjadi lebih cerah. Dari perspektif ini, perdamaian bukanlah sesuatu yang jauh di New York atau Jenewa, melainkan sesuatu yang bisa tumbuh di Cirebon, Yogyakarta, atau pelosok Papua melalui distribusi zakat yang adil.

Perbandingan dengan upaya perdamaian global lain juga menarik. PBB, misalnya, mengirim pasukan penjaga perdamaian ke daerah konflik untuk mencegah kekerasan. Namun, pasukan ini hanya bisa menghentikan pertikaian sementara tanpa menyelesaikan akar masalah seperti kemiskinan dan ketidakadilan. Di sinilah filantropi Islam memainkan peran pelengkap: memastikan setelah konflik mereda, masyarakat punya modal untuk hidup sejahtera. Dengan begitu, perdamaian tidak hanya bersifat negatif (tiadanya perang), tetapi juga positif (hadirnya keadilan dan kesejahteraan).

Hari Perdamaian Internasional seharusnya menjadi momen refleksi bagi umat Islam, khususnya di Indonesia. Kita harus melihat zakat bukan hanya sebagai kewajiban tahunan, tetapi sebagai kontribusi nyata terhadap perdamaian dunia. Program ZAuto hanyalah satu contoh. Bayangkan jika seluruh potensi zakat tergali, maka akan lahir ribuan program serupa di berbagai sektor: pertanian, perikanan, UMKM, pendidikan, hingga teknologi digital. Setiap program ini akan menciptakan mustahik baru yang berdaya, keluarga baru yang sejahtera, dan komunitas baru yang damai.

Pada akhirnya, perdamaian bukanlah hasil dari deklarasi internasional semata. Perdamaian lahir dari tindakan nyata di akar rumput, dari solidaritas sosial, dan dari kesediaan berbagi. Rasulullah SAW bersabda bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Dengan zakat, infak, sedekah, dan wakaf, kita bisa menjadi manusia yang memberi manfaat tidak hanya bagi sesama muslim, tetapi juga bagi seluruh umat manusia. Dari langkah sederhana menunaikan zakat, dunia bisa menjadi tempat yang lebih damai, adil, dan penuh kasih sayang.

Karena itu, memperingati Hari Perdamaian Internasional pada 21 September, mari kita renungkan kembali bahwa perdamaian bukanlah konsep abstrak. Perdamaian hadir ketika Mohamad bisa tersenyum karena bengkel kecilnya ramai pelanggan. Perdamaian hadir ketika Aqela bisa melihat anak-anaknya sekolah tanpa rasa takut akan biaya. Perdamaian hadir ketika seorang ibu miskin bisa mengakses layanan kesehatan tanpa cemas.

Dan perdamaian akan semakin kokoh ketika solidaritas ini meluas dari satu desa, ke satu bangsa, hingga ke seluruh dunia. Islam telah memberi kita kunci berupa zakat sebagai instrumen keadilan sosial. BAZNAS telah membuktikan bahwa zakat bisa dikelola menjadi program produktif yang berkelanjutan. Tugas kita adalah mendukung, mengoptimalkan, dan memastikan zakat benar-benar sampai kepada yang berhak. Dengan begitu, Hari Perdamaian Internasional tidak hanya menjadi seremoni global, tetapi momentum nyata menghadirkan perdamaian dari Indonesia untuk dunia.

Namun, berbicara tentang perdamaian internasional dalam perspektif Islam tidak bisa dilepaskan dari prinsip dasar yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Allah berfirman dalam Surah Al-Hujurat ayat 13 bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal, bukan saling bermusuhan. Ayat ini menegaskan bahwa perbedaan adalah sunnatullah yang justru menjadi pintu bagi terciptanya harmoni.

Perdamaian akan terwujud jika setiap bangsa dan individu memandang perbedaan sebagai anugerah, bukan sebagai alasan untuk konflik. Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW juga menekankan bahwa seorang muslim sejati adalah yang orang lain merasa aman dari lisan dan tangannya. Artinya, inti keberislaman adalah menghadirkan rasa aman dan damai kepada sesama. Jika umat Islam menghayati pesan ini, maka perdamaian internasional bukan lagi utopia, melainkan konsekuensi logis dari praktik keimanan.

Perdamaian yang kokoh juga sangat erat kaitannya dengan keadilan ekonomi. Sejarah menunjukkan bahwa sebagian besar konflik lahir dari ketimpangan ekonomi, perebutan sumber daya, atau ketidakadilan distribusi. Filantropi Islam hadir sebagai mekanisme untuk mengurangi kesenjangan tersebut. Zakat, infak, sedekah, dan wakaf sejatinya bukan hanya instrumen karitatif, melainkan mekanisme redistribusi kekayaan. Dengan zakat, harta yang menumpuk pada sebagian kecil orang bisa kembali mengalir ke masyarakat luas.

Dengan infak dan sedekah, ada ruang lebih fleksibel untuk membantu sesama dalam kebutuhan mendesak. Sedangkan wakaf mampu menghadirkan solusi jangka panjang, seperti pembangunan sekolah, rumah sakit, atau fasilitas publik lain yang dinikmati banyak orang. Semua itu membentuk ekosistem sosial yang lebih adil dan stabil, yang menjadi fondasi dari perdamaian sejati.

Dalam konteks Indonesia, peran BAZNAS sangat strategis untuk mewujudkan fungsi zakat secara optimal. Program ZAuto hanyalah satu contoh yang menunjukkan bahwa zakat bisa diarahkan menjadi produktif. Program serupa juga banyak dikembangkan, seperti zakat pertanian, zakat untuk pendidikan, hingga zakat untuk kesehatan. Akan tetapi, menariknya ZAuto menunjukkan bahwa zakat dapat menjawab tantangan modern, seperti kebutuhan keterampilan di sektor otomotif yang selalu berkembang.

Melalui program ini, zakat tidak lagi dipersepsikan sebagai bantuan pasif, tetapi sebagai investasi sosial yang menghasilkan efek domino: mustahik menjadi mandiri, membuka lapangan pekerjaan, mengurangi pengangguran, dan akhirnya menumbuhkan rasa aman di masyarakat. Ini adalah cerminan nyata dari bagaimana zakat dapat menjadi motor perdamaian dari bawah.

Selain itu, penting untuk memahami bahwa perdamaian internasional tidak bisa dilepaskan dari agenda pembangunan global. PBB melalui Sustainable Development Goals (SDGs) telah menetapkan 17 tujuan utama yang mencakup pengentasan kemiskinan, penghapusan kelaparan, pendidikan berkualitas, kesehatan, kesetaraan gender, hingga perdamaian dan keadilan. Menariknya, semua tujuan itu selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam filantropi Islam.

Misal, zakat untuk pendidikan sejalan dengan SDG 4 tentang pendidikan berkualitas. Zakat untuk kesehatan mendukung SDG 3 tentang kesehatan yang baik. Zakat produktif mendukung SDG 8 tentang pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, ketika umat Islam menunaikan zakatnya, mereka secara tidak langsung berkontribusi terhadap agenda perdamaian global yang dicanangkan dunia.

Kembali pada kisah fiktif Mohamad di Cirebon, kisah itu hanyalah gambaran kecil dari potensi besar zakat dalam mengubah kehidupan. Bayangkan jika ada ribuan bahkan jutaan Mohamad di seluruh Indonesia yang bangkit melalui program serupa. Mereka yang awalnya terjebak dalam lingkaran kemiskinan bisa menjadi bagian dari rantai produktif masyarakat. Ketika lapangan kerja terbuka, maka tingkat kriminalitas bisa ditekan, karena banyak tindak kejahatan lahir dari keterdesakan ekonomi.

Ketika anak-anak bisa sekolah karena ada dana zakat pendidikan, maka generasi berikutnya lebih siap menghadapi tantangan hidup dengan cara yang damai. Dengan demikian, zakat tidak hanya menyentuh aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial, psikologis, bahkan budaya. Ia membentuk ekosistem baru di mana perdamaian menjadi buah yang alami.

Lebih jauh, zakat sebagai praktik filantropi Islam juga memiliki dimensi spiritual yang tidak kalah penting. Bagi muzaki, menunaikan zakat adalah bentuk penyucian harta dan jiwa. Ada rasa ketenangan ketika ia tahu bahwa sebagian hartanya telah membantu meringankan beban orang lain. Rasa ini menumbuhkan ikatan batin antara muzaki dan mustahik, antara kaya dan miskin, antara yang kuat dan yang lemah.

Ikatan ini pada gilirannya menumbuhkan solidaritas yang kokoh, yang jauh lebih kuat daripada sekadar hubungan ekonomi. Solidaritas ini yang menjadi ruh perdamaian sejati, karena tidak ada perdamaian tanpa empati dan kasih sayang. Maka, ketika zakat dijalankan dengan penuh kesadaran, ia tidak hanya menyelesaikan masalah dunia, tetapi juga mendekatkan umat kepada Allah SWT.

Jika kita menengok sejarah peradaban Islam, kita menemukan banyak contoh bagaimana filantropi Islam menjadi pilar perdamaian dan kemajuan. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, zakat dikelola begitu baik hingga sulit ditemukan orang miskin yang berhak menerimanya. Akibatnya, masyarakat hidup dalam stabilitas dan kedamaian.

Begitu pula pada masa-masa kejayaan peradaban Islam di Andalusia, wakaf menjadi penopang pembangunan universitas, rumah sakit, dan fasilitas publik yang membuat masyarakat hidup dalam harmoni. Semua itu menunjukkan bahwa ketika nilai filantropi Islam dihidupkan, perdamaian bukanlah sekadar retorika, melainkan kenyataan historis. Tugas generasi hari ini adalah menghidupkan kembali semangat itu dengan cara yang relevan di zaman modern.

Penting juga untuk disadari bahwa perdamaian internasional bukan hanya urusan umat Islam, tetapi urusan seluruh umat manusia. Namun, umat Islam memiliki kontribusi khas yang lahir dari ajaran agamanya. Dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia punya tanggung jawab moral untuk menunjukkan bahwa zakat dapat menjadi model bagi pembangunan global yang berkeadilan.

Program BAZNAS seperti ZAuto bisa menjadi inspirasi bagi negara lain dalam mengelola filantropi berbasis agama untuk kepentingan sosial yang luas. Bayangkan jika praktik serupa dilakukan di banyak negara, maka dunia akan memiliki sistem alternatif yang berbasis solidaritas dan spiritualitas, yang melengkapi sistem pembangunan konvensional. Inilah sumbangsih nyata umat Islam bagi perdamaian dunia.

Dalam konteks global, kita bisa melihat bahwa perdamaian sering kali terganggu oleh ketidakadilan struktural. Negara-negara yang kaya semakin menguasai sumber daya, sementara negara-negara miskin sering tertinggal dan bahkan menjadi korban eksploitasi. Ketidakadilan semacam ini menimbulkan kecemburuan, ketegangan, dan akhirnya konflik.

Di sinilah filantropi Islam dapat menjadi alternatif solusi yang berkeadilan. Jika zakat dan instrumen filantropi lainnya digali dan disalurkan dengan baik, ia bisa menjadi kekuatan ekonomi baru yang berbasis solidaritas, bukan dominasi. Hal ini sejalan dengan prinsip Islam yang menolak kezhaliman dalam segala bentuknya dan menekankan pentingnya tolong-menolong dalam kebaikan. Dengan kata lain, zakat adalah bentuk nyata dari ekonomi perdamaian yang ditawarkan Islam kepada dunia.

Program seperti ZAuto dari BAZNAS memberikan gambaran bagaimana ekonomi perdamaian itu bekerja. Melalui pemberdayaan keterampilan, mustahik tidak hanya menjadi penerima bantuan, tetapi juga agen perubahan dalam komunitasnya. Mereka menciptakan nilai, membuka peluang kerja, dan menjadi contoh bagi orang lain. Secara tidak langsung, program ini membangun kepercayaan sosial (social trust) yang merupakan modal penting bagi terciptanya masyarakat damai. Sebaliknya, ketika masyarakat kehilangan kepercayaan, kecurigaan dan ketegangan mudah tumbuh, yang bisa berujung pada konflik. Oleh karena itu, zakat produktif seperti ZAuto sebenarnya lebih dari sekadar program ekonomi: ia adalah program rekonsiliasi sosial yang membangun kembali rasa percaya antarwarga.

Kita juga tidak boleh melupakan dimensi pendidikan dalam filantropi Islam. Pendidikan adalah salah satu kunci perdamaian. Orang yang berpendidikan cenderung lebih terbuka, lebih toleran, dan lebih siap menghadapi perbedaan. Banyak konflik lahir dari kebodohan, prasangka, dan kesalahpahaman.

Oleh karena itu, zakat pendidikan menjadi sangat penting. Ketika anak-anak dari keluarga miskin bisa bersekolah dan mengejar cita-citanya, mereka tidak hanya mengubah masa depan keluarganya, tetapi juga masa depan bangsanya. Mereka tumbuh menjadi generasi yang memahami pentingnya harmoni, menghargai keberagaman, dan berkontribusi pada pembangunan. Pendidikan yang dibiayai zakat adalah jembatan menuju perdamaian yang berkelanjutan.

Jika kita menoleh pada sejarah dunia, banyak konflik internasional yang bermula dari persoalan ekonomi dan politik. Namun, kita juga melihat contoh bagaimana filantropi bisa meredam ketegangan. Misalnya, setelah Perang Dunia II, Marshall Plan yang digagas Amerika Serikat membantu membangun kembali Eropa Barat. Program itu bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal perdamaian. Dalam konteks Islam, zakat bisa memainkan peran serupa, tetapi dengan basis spiritual yang lebih kuat.

Bayangkan jika negara-negara muslim bersatu mengelola zakat secara kolektif dalam skala internasional, dana itu bisa digunakan untuk membangun rumah sakit di Palestina, sekolah di Suriah, atau lapangan kerja di negara-negara miskin Afrika. Kontribusi ini tidak hanya membantu sesama muslim, tetapi juga bisa melintasi batas agama dan bangsa, karena esensi zakat adalah kemanusiaan. Dengan begitu, zakat menjadi instrumen diplomasi perdamaian yang unik.

Perdamaian internasional juga erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat. Pandemi COVID-19 yang lalu menunjukkan bahwa dunia yang sakit tidak mungkin damai. Ketika masyarakat kesulitan mengakses layanan kesehatan, rasa frustrasi dan ketidakpuasan bisa muncul, yang pada akhirnya bisa memicu instabilitas sosial. Zakat di bidang kesehatan bisa menjadi jawaban.

BAZNAS sendiri telah banyak menyalurkan zakat untuk layanan kesehatan, baik dalam bentuk klinik, bantuan obat, maupun pembiayaan pasien miskin. Program ini tidak hanya menyelamatkan nyawa, tetapi juga mengurangi kecemasan sosial. Orang-orang yang sakit tetapi ditolong oleh zakat akan merasa lebih tenang, keluarganya lebih tenteram, dan masyarakat di sekitarnya lebih stabil. Semua itu bagian dari proses membangun perdamaian.

Perdamaian tidak selalu berarti ketiadaan konflik bersenjata, tetapi juga ketenangan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi seorang ibu miskin yang bisa melahirkan dengan selamat karena biaya rumah sakit ditanggung zakat, itulah perdamaian. Bagi seorang ayah yang bisa mengobati anaknya dari penyakit kronis karena ada bantuan zakat, itulah perdamaian.

Bagi anak-anak yang bisa belajar tanpa harus menanggung beban ekonomi keluarganya, itulah perdamaian. Dengan kata lain, perdamaian internasional dimulai dari perdamaian kecil di rumah, di sekolah, di desa, dan di komunitas. Jika perdamaian itu terwujud di tingkat mikro, maka ia akan meluas ke tingkat makro.

Hari Perdamaian Internasional pada 21 September seharusnya kita maknai bukan hanya sebagai seremonial tahunan, tetapi sebagai momentum untuk memperkuat kesadaran kolektif tentang pentingnya solidaritas global. Umat Islam bisa menunjukkan bahwa ajaran zakat yang telah ada sejak 14 abad lalu tetap relevan bahkan lebih dibutuhkan di era modern ini.

Dunia yang semakin terpolarisasi, dengan konflik yang muncul di berbagai belahan, membutuhkan model baru yang berlandaskan kasih sayang dan keadilan. Filantropi Islam melalui zakat bisa menjadi jawaban yang ditawarkan umat Islam kepada dunia. Jika zakat bisa mengubah hidup Mohamad di Cirebon, maka zakat juga bisa mengubah wajah dunia jika dikelola dengan baik di tingkat internasional.

Selain aspek sosial-ekonomi, perdamaian juga berkaitan dengan dimensi psikologis manusia. Banyak konflik berawal dari rasa iri, dengki, atau perasaan tidak adil. Filantropi Islam hadir untuk menenangkan hati, baik bagi yang memberi maupun yang menerima. Bagi yang memberi, zakat menghadirkan rasa lega karena telah menunaikan kewajiban dan membantu sesama.

Bagi yang menerima, zakat menghapus rasa putus asa karena masih ada harapan dan kepedulian dari orang lain. Hubungan emosional ini penting untuk membangun perdamaian, karena konflik sering lahir dari perasaan ditinggalkan atau diabaikan. Dengan zakat, rasa kebersamaan tumbuh kembali, dan ini menjadi fondasi perdamaian yang kuat.

Kita juga harus memahami bahwa perdamaian sejati adalah kondisi yang berkesinambungan, bukan sekadar jeda di antara perang. Perdamaian harus dijaga melalui sistem sosial yang berkeadilan. Di sinilah zakat menjadi instrumen struktural. Ketika zakat dikelola dengan transparan, akuntabel, dan profesional, ia tidak hanya menjadi amal individual, tetapi juga kebijakan publik.

Negara hadir memastikan zakat tersalurkan dengan tepat sasaran, sementara masyarakat turut mengawasi agar tidak terjadi penyalahgunaan. Proses ini melahirkan kepercayaan publik, yang pada gilirannya memperkuat stabilitas sosial. Dalam konteks internasional, praktik zakat yang baik di Indonesia bisa menjadi contoh governance yang inspiratif bagi dunia.

Program ZAuto hanyalah satu titik kecil dalam peta besar filantropi Islam. Namun, dari titik kecil ini, kita bisa melihat gambaran besar bagaimana zakat mampu menumbuhkan perdamaian. Mohamad di Cirebon hanyalah satu orang, tetapi keberhasilannya membuka bengkel dan mempekerjakan pemuda lain telah menciptakan lingkaran kebaikan. Bayangkan jika 1.000 mustahik lain mendapat kesempatan serupa, maka ada 1.000 unit usaha baru yang tumbuh.

Dari 1.000 unit usaha, bisa muncul 2.000 hingga 3.000 lapangan kerja baru. Ribuan keluarga terselamatkan dari jerat kemiskinan. Ribuan anak bisa melanjutkan sekolah. Ribuan rumah tangga hidup lebih tenteram. Semua itu adalah bentuk nyata dari perdamaian sosial yang menyebar seperti gelombang di air ketika sebuah batu kecil dilemparkan. Zakat adalah batu kecil itu, dan lingkaran gelombangnya adalah perdamaian yang terus meluas.

Jika umat Islam di seluruh dunia mampu mengoptimalkan zakat, maka efeknya bisa sangat luar biasa. Menurut beberapa penelitian, potensi zakat global mencapai lebih dari USD 200 miliar per tahun. Jumlah ini cukup besar untuk mengentaskan sebagian besar kemiskinan dunia. Dengan pengelolaan yang baik, dana zakat bisa diarahkan untuk program-program produktif lintas negara.

Misal, membangun sekolah di daerah konflik, menyediakan layanan kesehatan di negara-negara miskin, atau membiayai program pemberdayaan ekonomi di komunitas terpinggirkan. Hal ini akan menjadi kontribusi nyata umat Islam terhadap perdamaian dunia, sekaligus membuktikan bahwa ajaran Islam sangat relevan untuk menjawab tantangan global.

Perdamaian internasional juga membutuhkan narasi baru. Selama ini, narasi perdamaian sering didominasi oleh kekuatan politik besar yang menggunakan pendekatan militer atau diplomasi formal. Filantropi Islam menawarkan narasi alternatif: perdamaian yang lahir dari kasih sayang, solidaritas, dan empati. Narasi ini lebih membumi karena menyentuh langsung kebutuhan manusia sehari-hari.

Perdamaian tidak lagi dipahami sebagai kesepakatan antara para pemimpin negara, tetapi sebagai kondisi di mana setiap orang merasa aman, cukup, dan dihargai. Dengan demikian, zakat bukan hanya instrumen ekonomi, tetapi juga bahasa universal perdamaian yang bisa dipahami siapa saja, lintas agama dan bangsa.

Momentum Hari Perdamaian Internasional pada 21 September memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk menunjukkan perannya. Sebagai negara muslim terbesar di dunia, Indonesia bisa menjadi laboratorium filantropi Islam yang modern dan profesional. BAZNAS sudah memulai langkah ini dengan berbagai programnya, termasuk ZAuto.

Namun, tantangan ke depan adalah bagaimana memperluas jangkauan, meningkatkan kesadaran masyarakat, dan memperkuat sistem agar dana zakat benar-benar optimal. Jika hal ini tercapai, Indonesia tidak hanya akan damai di dalam negeri, tetapi juga memberi kontribusi pada perdamaian global. Dunia akan melihat bahwa Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi semesta, bukan ancaman. Dunia akan menyadari bahwa zakat adalah instrumen perdamaian yang efektif, bukan sekadar kewajiban ritual.

Pada akhirnya, perdamaian bukanlah hadiah yang datang dari luar, melainkan hasil dari upaya kolektif manusia untuk hidup adil, saling menghormati, dan saling membantu. Filantropi Islam, khususnya zakat, memberikan jalan yang jelas untuk mencapai itu semua. Dari zakat, kita belajar bahwa harta bukan hanya milik individu, tetapi ada hak orang lain di dalamnya. Dari zakat, kita belajar bahwa memberi tidak mengurangi, justru menambah keberkahan.

Dari zakat, mari belajar bahwa kebahagiaan sejati terletak pada berbagi. Semua pelajaran ini adalah bahan bakar bagi terciptanya dunia yang lebih damai. Maka, memperingati Hari Perdamaian Internasional, mari kita jadikan zakat bukan hanya sebagai kewajiban, tetapi sebagai misi perdamaian. Jika setiap muslim menunaikan zakat dengan ikhlas dan tepat, maka perdamaian yang kita cita-citakan bukan lagi mimpi, melainkan kenyataan yang akan diwariskan kepada generasi mendatang.

Selain itu, jika kita melihat dimensi spiritual dari ajaran Islam, perdamaian bukanlah sekadar hasil dari kebijakan sosial atau ekonomi, melainkan buah dari hati yang dipenuhi keikhlasan dan kasih sayang. Zakat, infak, sedekah, dan wakaf tidak hanya membersihkan harta, tetapi juga membersihkan jiwa dari sifat kikir, tamak, dan egoisme yang sering kali menjadi pemicu konflik.

Seorang yang terbiasa memberi akan lebih mudah merasakan empati, memahami penderitaan orang lain, dan menghindari tindakan yang merugikan sesama. Dalam konteks inilah, filantropi Islam membentuk karakter manusia yang cinta damai, rendah hati, dan peduli, sehingga perdamaian bisa berakar kuat, bukan sekadar formalitas dalam tataran politik.

Penting pula untuk menghubungkan gagasan perdamaian berbasis filantropi Islam dengan situasi global yang saat ini penuh tantangan. Konflik di berbagai belahan dunia, seperti di Palestina, Suriah, Afghanistan, dan sejumlah negara di Afrika, memperlihatkan betapa penderitaan masyarakat sering kali bertumpu pada ketidakadilan ekonomi dan keterbatasan akses terhadap kebutuhan dasar.

Di tengah penderitaan itu, bantuan kemanusiaan yang didorong oleh nilai-nilai zakat, sedekah, dan wakaf menjadi jembatan yang menumbuhkan harapan. Lembaga-lembaga zakat dari negara-negara muslim, termasuk BAZNAS dari Indonesia, berkontribusi dalam mengirimkan bantuan internasional. Meski jumlahnya mungkin belum sebesar organisasi global besar, namun kehadirannya menunjukkan bahwa Islam hadir membawa solusi, bukan hanya doa.

Program BAZNAS seperti ZAuto hanyalah satu contoh kecil, tetapi dampaknya jika direplikasi secara luas bisa sangat besar. Bayangkan jika ada program serupa yang ditujukan bagi nelayan miskin di pesisir, yang tidak hanya memberi perahu dan jaring, tetapi juga pelatihan tentang teknologi perikanan dan akses pasar.

Atau program pemberdayaan bagi petani desa yang selama ini terjebak pada sistem ijon, sehingga hasil panennya tidak pernah memberi kesejahteraan. Dengan zakat produktif, mereka bisa memiliki modal sendiri, mengelola lahan dengan lebih baik, dan meningkatkan taraf hidup keluarga. Dari situ, lahir suasana sosial yang tenteram, terhindar dari kecemburuan, dan masyarakat menjadi lebih harmonis.

Ketika masyarakat sudah memiliki ketahanan ekonomi, maka mereka akan lebih mampu menjaga perdamaian di lingkungannya. Konflik sosial yang biasanya dipicu oleh kesenjangan atau perebutan sumber daya bisa diminimalisir. Dalam banyak kasus, kerusuhan atau tindak kekerasan lahir dari rasa putus asa dan ketidakpuasan terhadap kondisi hidup. Dengan adanya filantropi Islam yang efektif, rasa putus asa itu berubah menjadi harapan, dan keputusasaan berganti dengan peluang. Itulah sebabnya zakat bukan hanya kewajiban ritual, tetapi strategi sosial yang sangat relevan untuk perdamaian global.

Selain aspek ekonomi, filantropi Islam juga memiliki peran penting dalam bidang pendidikan. Zakat yang dialokasikan untuk beasiswa anak-anak miskin menjadi investasi besar bagi masa depan perdamaian. Anak-anak yang mendapat pendidikan layak akan tumbuh dengan wawasan lebih luas, kemampuan berpikir kritis, dan keterampilan yang bisa digunakan untuk bekerja.

Pendidikan juga mengajarkan nilai toleransi, kebersamaan, dan penghargaan terhadap perbedaan. Semua ini adalah modal penting untuk mencegah lahirnya generasi yang mudah terjerumus pada konflik, kebencian, atau radikalisme. Maka setiap rupiah zakat yang digunakan untuk pendidikan adalah benih-benih perdamaian yang ditanam untuk masa depan.

Refleksi yang lebih dalam bisa kita tarik dari sabda Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa seorang muslim sejati adalah yang mampu memberi rasa aman kepada orang lain, baik dari lisan maupun perbuatannya. Hadis ini menegaskan bahwa perdamaian adalah inti keimanan. Ketika zakat mengalir, maka tercipta rasa aman bagi mereka yang kelaparan karena ada yang memberi makanan. Tercipta rasa aman bagi mereka yang tidak punya rumah karena ada yang membantu biaya. Tercipta rasa aman bagi para yatim karena ada yang membiayai pendidikan mereka. Dengan kata lain, zakat menciptakan perlindungan sosial yang pada akhirnya menjadi pondasi bagi kehidupan yang damai.

Di era modern, teknologi digital membuka peluang lebih besar untuk memaksimalkan peran filantropi Islam. Platform zakat online yang dikembangkan BAZNAS dan lembaga lainnya memungkinkan masyarakat menyalurkan zakat dengan mudah, cepat, dan transparan. Dengan transparansi itu, kepercayaan masyarakat semakin meningkat, sehingga potensi zakat yang besar bisa lebih tergali. Bayangkan jika potensi Rp300 triliun per tahun bisa termobilisasi dengan baik, betapa banyak program pemberdayaan yang dapat dijalankan. Indonesia tidak hanya bisa menekan angka kemiskinan, tetapi juga tampil sebagai teladan dunia dalam menghubungkan agama, kesejahteraan, dan perdamaian.

Tentu saja, semua ini membutuhkan kesadaran kolektif. Masyarakat harus menyadari bahwa zakat bukan sekadar urusan pribadi dengan Tuhan, tetapi memiliki dimensi sosial yang luas. Pemerintah harus terus memperkuat regulasi, mempermudah akses, dan memastikan akuntabilitas pengelolaan zakat. Lembaga zakat perlu kreatif merancang program-program inovatif yang menyentuh kebutuhan nyata masyarakat. Media massa harus ikut menyebarkan kisah-kisah inspiratif tentang dampak zakat, agar semakin banyak orang tergerak. Dan yang tak kalah penting, generasi muda harus dilibatkan agar memiliki kesadaran sejak dini bahwa perdamaian lahir dari kepedulian sosial.

Semakin kita renungkan, semakin jelas bahwa Hari Perdamaian Internasional pada 21 September bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi ajakan nyata untuk bergerak. Dunia tidak akan damai hanya dengan doa tanpa tindakan. Dunia tidak akan adil jika masih ada ketimpangan ekonomi yang dibiarkan. Dunia tidak akan tenteram jika solidaritas sosial hanya menjadi jargon. Maka, menunaikan zakat dengan benar adalah salah satu bentuk aksi nyata untuk menjawab seruan perdamaian itu. Dari zakat, kita belajar memberi, berbagi, dan peduli. Dari zakat, kita belajar bahwa kebahagiaan tidak datang dari menimbun harta, melainkan dari menggunakannya untuk kebaikan bersama.

Jika kita berani bermimpi, zakat bisa menjadi instrumen global untuk perdamaian lintas agama dan bangsa. Bayangkan jika lembaga zakat dunia berkolaborasi dengan lembaga filantropi lintas agama, menyalurkan bantuan kemanusiaan bersama-sama tanpa memandang latar belakang penerima. Maka dunia akan melihat bahwa agama bukan sumber konflik, melainkan sumber solusi. Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam akan semakin tampak wajah indahnya. Dan dari Indonesia, dengan potensi zakat yang luar biasa, kita bisa memberi kontribusi nyata bagi perdamaian dunia.

Selain itu, penting untuk memahami bahwa semangat filantropi Islam tidak pernah berhenti hanya pada konteks ibadah personal, tetapi selalu berkembang sesuai kebutuhan zaman. Sejak masa Rasulullah SAW, praktik zakat telah menjadi instrumen revolusioner untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil. Di Madinah, zakat dan sedekah yang dikumpulkan digunakan untuk menolong kaum Muhajirin yang kehilangan harta benda saat hijrah dari Mekkah. Zakat juga digunakan untuk memperkuat ukhuwah, mengurangi kesenjangan antara kaya dan miskin, serta menumbuhkan solidaritas yang melintasi kabilah dan suku.

Sistem ini kemudian diperkuat oleh Khulafaur Rasyidin, di mana Abu Bakar ash-Shiddiq sangat tegas menegakkan kewajiban zakat, bahkan sampai memerangi kelompok yang menolak menunaikannya. Umar bin Khattab mengembangkan sistem administrasi dan distribusi zakat secara lebih luas, sementara Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memastikan zakat menjadi instrumen pembangunan yang terus dijaga. Sejarah ini menunjukkan bahwa zakat bukan sekadar kewajiban ritual, tetapi fondasi peradaban Islam yang damai, adil, dan berdaya.

Di era modern, ketika dunia menghadapi ketidakpastian global—mulai dari krisis pangan, perubahan iklim, konflik bersenjata, hingga pandemi—peran filantropi Islam semakin relevan. Zakat tidak hanya menjawab kebutuhan ekonomi umat, tetapi juga mampu menjadi kekuatan diplomasi kultural. Misalnya, ketika lembaga zakat dari berbagai negara berkolaborasi menyalurkan bantuan kemanusiaan ke Palestina, Rohingya, atau wilayah-wilayah yang dilanda perang di Afrika, hal itu memperlihatkan bahwa zakat adalah instrumen solidaritas lintas batas negara. Inilah yang memperkuat posisi filantropi Islam sebagai pilar perdamaian internasional, karena ia bergerak bukan dengan senjata atau diplomasi formal, melainkan dengan kasih sayang, kepedulian, dan distribusi keadilan.

Indonesia sendiri melalui BAZNAS telah banyak menunjukkan kontribusi ini. Program ZAuto hanyalah salah satu dari sekian banyak inovasi. Ada pula program ZChicken yang memberdayakan masyarakat dengan usaha ayam potong, ZMart yang membantu pedagang kecil mengembangkan warung mereka, hingga program pemberdayaan petani dan nelayan. Setiap program tidak hanya memberikan modal, tetapi juga pendampingan manajemen, pelatihan keterampilan, dan akses pasar.

Pendekatan holistik ini penting karena keberlanjutan ekonomi mustahik hanya bisa tercapai bila mereka memiliki kapasitas, akses, dan dukungan komunitas. Di sinilah zakat menjadi alat perdamaian: ia mengurangi kecemburuan sosial, mempersempit kesenjangan, serta membangun rasa kebersamaan. Konflik sosial sering kali muncul karena ketidakadilan distribusi dan rasa terpinggirkan, maka ketika zakat hadir sebagai instrumen keadilan, potensi konflik bisa diredam sejak awal.

Bayangkan sebuah desa miskin di pesisir utara Jawa yang mayoritas warganya nelayan tradisional. Selama bertahun-tahun mereka terjebak dalam kemiskinan struktural karena keterbatasan alat tangkap, ketergantungan pada tengkulak, dan rendahnya akses pasar. Melalui program zakat produktif, BAZNAS memberikan bantuan berupa perahu, jaring modern, serta pelatihan pengelolaan hasil laut. Tidak berhenti di situ, mereka juga diberi akses untuk menjual produk melalui koperasi desa dan platform digital.

Hasilnya, pendapatan para nelayan meningkat dua kali lipat, anak-anak mereka bisa bersekolah lebih tinggi, dan desa itu kini menjadi model pemberdayaan pesisir. Dampaknya bukan hanya ekonomi, tetapi juga sosial: tidak ada lagi perkelahian karena rebutan lahan tangkap, tidak ada lagi rasa iri terhadap desa tetangga, dan yang muncul adalah kebersamaan untuk menjaga hasil laut. Inilah contoh nyata bagaimana zakat menjadi penjamin perdamaian di level akar rumput.

Refleksi ini semakin kuat jika kita melihat kaitan zakat dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Dari 17 tujuan global yang dicanangkan PBB, setidaknya 8 tujuan bisa langsung dikaitkan dengan praktik zakat: pengentasan kemiskinan, penghapusan kelaparan, kesehatan yang baik, pendidikan berkualitas, kesetaraan gender, pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan, serta perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh.

Ini artinya, zakat yang dikelola dengan baik tidak hanya memenuhi kewajiban agama, tetapi juga berkontribusi pada agenda global untuk mewujudkan dunia yang damai dan berkelanjutan. Bedanya, zakat memiliki kekuatan spiritual: ia mengikat hati umat Islam melalui keyakinan religius, bukan sekadar dorongan rasional atau politis. Karena itu, komitmen zakat cenderung lebih kuat dan berkesinambungan.

Namun, tantangan besar tetap ada. Tingkat penghimpunan zakat di Indonesia baru mencapai sekitar 10–13% dari potensi Rp300 triliun. Artinya, ada “gunung emas” yang belum tergali secara optimal. Hambatan terbesar adalah rendahnya kesadaran masyarakat, kurangnya literasi zakat produktif, dan masih adanya keraguan terhadap transparansi pengelolaan.

Padahal, jika zakat ini bisa dihimpun sepenuhnya, Indonesia akan memiliki dana raksasa untuk membangun sekolah gratis, rumah sakit rakyat, modal UMKM, hingga ketahanan pangan. Semua ini akan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan harmonis. Bayangkan jika potensi itu terealisasi: tidak hanya konflik sosial bisa ditekan, tetapi juga Indonesia bisa menjadi inspirasi global tentang bagaimana filantropi Islam mampu menciptakan perdamaian internasional dari bawah.

Perdamaian sejati memang tidak pernah sederhana. Ia bukan sekadar tanda tangan di atas kertas atau pidato di podium internasional. Perdamaian adalah soal perut yang kenyang, anak-anak yang bisa belajar tanpa takut, keluarga yang sehat, dan masyarakat yang merasa diperlakukan adil. Perdamaian hadir ketika tidak ada lagi diskriminasi ekonomi, ketika kesenjangan sosial semakin mengecil, dan ketika solidaritas antarwarga tumbuh.

Dalam konteks ini, zakat dan filantropi Islam bukan hanya instrumen ekonomi, melainkan juga instrumen moral. Ia mengingatkan kita bahwa harta bukan sekadar milik pribadi, tetapi ada hak orang lain yang harus ditunaikan. Ia menegaskan bahwa kebahagiaan pribadi hanya sempurna bila kita ikut membahagiakan orang lain. Dari kesadaran inilah lahir budaya damai yang autentik.

Maka, memperingati Hari Perdamaian Internasional setiap 21 September seharusnya bukan sekadar momen simbolis, melainkan titik balik untuk mengoptimalkan filantropi Islam. Dunia membutuhkan lebih banyak aksi nyata dibanding sekadar deklarasi. Indonesia dengan potensi zakatnya yang besar memiliki kesempatan untuk menunjukkan kepemimpinan moral.

Dengan memperkuat BAZNAS, meningkatkan literasi zakat, memperluas penggunaan teknologi digital, serta memastikan transparansi distribusi, zakat bisa menjadi motor perdamaian yang menginspirasi dunia. Kita bisa menunjukkan bahwa perdamaian bukan hanya soal diplomasi antarnegara, tetapi juga hasil dari tindakan sederhana umat beriman yang mau berbagi kepada sesama.

Dan ketika kita menengok kembali cerita-cerita kecil seperti Mohamad yang berhasil membuka bengkel, nelayan yang kini bisa menyekolahkan anaknya, atau ibu-ibu yang mendapat modal untuk usaha kecil, kita sadar bahwa perdamaian itu nyata, dekat, dan bisa dirasakan. Perdamaian ada di wajah mereka yang tersenyum karena hidupnya lebih layak.

Perdamaian ada di desa-desa yang dulu rawan konflik kini menjadi desa percontohan. Perdamaian ada di hati setiap orang yang merasakan keadilan. Semua itu lahir dari zakat yang ditunaikan dengan ikhlas dan dikelola dengan amanah. Dengan demikian, filantropi Islam bukan hanya bagian dari sejarah, melainkan juga masa depan perdamaian dunia.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment