Berkah yang Terselubung
Tiara Febi Nurkhaulah

By Yudhiarma 20 Agu 2025, 11:55:20 WIB Cerpen
Berkah yang Terselubung

Keterangan Gambar : Foto: Asistensi AI


Di sebuah kota kecil di pesisir Jawa, hiduplah seorang pengusaha batik bernama Haji Karim. Usahanya besar, namanya harum, dan rumahnya berdiri megah di tengah kota. Namun, di balik gemerlap kehidupannya, ada sesuatu yang tak pernah ia sentuh: zakat dan sedekah.

“Usaha ini aku bangun dengan keringatku sendiri,” gumamnya suatu malam sambil menghitung lembaran rupiah. “Kenapa harus kuberikan kepada orang lain yang malas bekerja?”

Istrinya, Nyai Salma, sering menegur lembut.

Baca Lainnya :

“Pak, rezeki itu titipan. Ada hak orang lain di setiap keuntungan kita.”

Namun Karim selalu menutup telinga. Ia lebih percaya pada kalkulatornya daripada pada janji Allah.

Di sudut lain kota, hiduplah seorang penjual nasi uduk bernama Murni. Ia janda dengan dua anak kecil. Sejak suaminya meninggal karena kecelakaan, ia berjuang keras menafkahi keluarga. Namun penghasilannya tak pernah cukup, apalagi ketika putra bungsunya, Rafi, divonis menderita penyakit jantung bawaan.

Suatu malam, Rafi kejang di rumah. Murni panik membawanya ke rumah sakit. Dokter berkata tegas:
“Anak ibu butuh operasi segera. Biayanya seratus juta rupiah.”

Bagaikan tersambar petir, Murni tak sanggup berkata-kata. Seratus juta? Uang sebesar itu bahkan tak pernah ia lihat seumur hidup.

 Keesokan harinya, dengan hati penuh harap, Murni mendatangi rumah Haji Karim.

“Assalamualaikum, Haji. Saya mohon bantuan. Anak saya butuh operasi. Saya dengar bapak orang yang sangat kaya dan dermawan.”

Karim menatapnya sinis.

“Dermawan? Itu cuma omongan orang. Aku tak punya kewajiban membantu semua orang. Kalau kau mau uang, bekerjalah lebih keras!”

Murni terdiam. Air matanya mengalir. Ia pamit dengan langkah gontai, hatinya retak oleh penolakan itu.

 Kabar penolakan Haji Karim menyebar cepat. Orang-orang mulai berbisik di pasar, di masjid, bahkan di warung kopi.

“Katanya kaya raya, tapi kikir luar biasa.”

“Lupa kalau harta itu titipan Allah.”

Nama Haji Karim yang dulu harum, kini jadi ejekan.

Namun, puncak konflik terjadi ketika pabrik batiknya kebakaran. Api melahap gudang utama, mesin-mesin mahal, bahkan stok batik yang siap diekspor. Kerugian mencapai miliaran rupiah.

Karim berdiri di depan reruntuhan pabrik dengan wajah pucat. Tangannya gemetar.
“Ya Allah… kenapa semua ini menimpaku?”

Malam itu, ia menangis tersedu di sajadah. Hatinya mulai goyah.

 Beberapa hari kemudian, ia mendatangi masjid. Di sana, ia melihat pengumuman tentang Lembaga Zakat dan Wakaf. Ustaz setempat berceramah:

“Siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, tidak akan berkurang sedikit pun. Bahkan Allah akan melipatgandakan. Sedekah itu penolak bala, penyejuk hati, dan penyambung persaudaraan.”

Kata-kata itu menusuk jantungnya. Untuk pertama kali, ia merasa seluruh kesombongannya runtuh.

Keesokan harinya, Haji Karim memberanikan diri mendatangi rumah Murni. Ia membawa sebuah amplop besar.

“Murni… maafkan aku. Dulu aku menolakmu dengan sombong. Ini uang untuk operasi Rafi. Aku hanya berharap kau mau memaafkan kebodohanku.”

Murni tertegun. Air matanya menetes deras.

“Pak Haji… ini lebih dari cukup. Saya… saya tidak tahu harus berkata apa. Semoga Allah membalas kebaikan bapak.”

Pelukan haru pecah. Luka lama yang penuh amarah dan kecewa, kini terobati dengan keikhlasan.

Beberapa bulan kemudian, Rafi berhasil menjalani operasi dan sembuh. Sementara itu, meski usahanya belum pulih sepenuhnya, Haji Karim merasa hatinya jauh lebih tenang. Ia mulai rutin mengeluarkan zakat, membantu anak yatim, bahkan mewakafkan sebagian tanahnya untuk pesantren.

Suatu hari, saat ia duduk di teras masjid setelah salat Subuh, seorang sahabat menepuk pundaknya.
“Jadi inikah rahasia wajahmu sekarang selalu cerah, Ji? Bukan lagi batikmu yang mewah, tapi sedekahmu yang membuatmu damai.”

Karim tersenyum.

“Aku baru sadar, harta yang sebenarnya bukan yang kusimpan di lemari besi, tapi yang kubagikan kepada orang lain. Karena itulah yang akan menemaniku kelak.”




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment