- Laznas WIZ Salurkan Mushaf Al-Quran dan Buku Iqra
- Bantu Warga Dhuafa, Target Zakat di Jawa Barat Ditingkatkan
- Solopeduli Berbagi Mushaf Baru untuk Rumah Tahfiz Quran
- Rumah Yatim Bantu Biaya Hidup Lansia Prasejahtera di Garut
- Perkuat Sinergi, NPC Perpanjang Kerja Sama MPZ dengan DT Peduli
- Generasi Unggul, PYI Dukung Program Kampung Zakat Tasikmalaya
- WIZ Parigi Salurkan Paket Alat Tulis untuk Anak Pedalaman Sirombiu
- Pembinaan Mustahik RSP IZI Jakarta: Menguatkan Hati dengan Syukur dan Sabar
- Ingin Sukses Jadi Hafiz Quran, Beasiswa OTA Solopeduli Bantu Raditya Bersekolah
- Ekspedisi Kemerdekaan Rumah Zakat untuk Peduli Pendidikan Anak Dusun Balocci
Jejak di Antara Dua Takdir

Keterangan Gambar : Foto: Ilustrasi AI
Hujan rintik turun sore itu, membasahi genteng rumah tua tempat Fira duduk termenung. Usianya baru dua puluh tiga tahun, tetapi pikirannya sudah sarat dengan pertanyaan yang jarang disentuh teman-teman sebayanya:
“Benarkah semua sudah ditakdirkan? Lalu untuk apa aku berjuang?”
Fira lahir dengan kondisi jantung lemah. Sejak kecil dokter berkata hidupnya akan penuh batas: tak boleh berlari, tak boleh marah-marah, bahkan tak boleh terlalu lama tertawa. Ibunya selalu bilang, “Nak, ini sudah takdirmu. Ibu hanya ingin kau bahagia dengan apa yang ada.”
Baca Lainnya :
- Langkah di Balik Hujan 0
- Dam untuk Mereka yang Lapar0
- Penjaga Waktu: Episode 20
- Toko Terakhir di Ujung Jalan: Episode 10
- Dosa yang Menghidupkan0
Namun belakangan, Fira merasa terusik. Apalagi sejak ia mengenal Rayhan, seorang pemuda ceria yang dikenalnya lewat komunitas penulis. Rayhan sering berkata,
“Takdir itu ada dua, Fir. Ada yang sudah tetap, seperti kita lahir sebagai siapa. Tapi ada juga yang bisa kita usahakan, seperti bagaimana kita menjalani hidup itu sendiri”
Fira semula hanya tersenyum kecil, menganggap Rayhan terlalu optimis. Tapi kata-kata itu menancap dalam. Hingga suatu sore, ketika Rayhan menantangnya ikut lomba menulis nasional, Fira mulai bimbang. Tubuhnya memang lemah, tapi pikirannya tak pernah berhenti. Ia punya puluhan cerita, ratusan puisi yang tersebar di buku catatan dan file laptop.
Ia berdiri di depan cermin, melihat sosok kurus dengan kulit pucat.
“Apa gunanya semua ini? Aku toh tak bisa jadi seperti orang lain,” pikirnya. Tapi kemudian, bayangan Rayhan muncul di ingatannya. Takdir yang diusahakan...
Hari-hari berikutnya, Fira mulai menulis. Ia menulis dengan penuh gairah, meski kadang harus berhenti karena sesak napas. Ia menulis bukan untuk menang, tetapi untuk membuktikan pada dirinya bahwa ia masih bisa memilih. Ia sadar, mungkin tubuhnya takkan pernah kuat seperti orang lain. Tapi ia masih bisa memilih apakah mau menyerah atau terus berkarya.
Akhirnya, malam pengumuman tiba. Fira tak berharap banyak, tapi diam-diam ia mengecek email. Tangannya gemetar ketika membaca:
"Selamat! Cerpen Anda terpilih sebagai salah satu pemenang lomba nasional"
Air matanya mengalir tanpa terasa. Ia langsung mengirim pesan pada Rayhan: “Kau benar. Takdir tubuhku sudah ditetapkan. Tapi takdir mimpiku, itu bisa kuusahakan.”
Rayhan hanya membalas singkat: “Selamat, Fira. Kau baru saja melangkah melewati garis yang kau kira tak terlewati.”
Malam itu, di bawah langit penuh bintang, Fira menatap jendela. Untuk pertama kalinya, ia merasa hidupnya bukan hanya soal menerima takdir, tapi juga soal memahat jejak di antara dua takdir itu.
Kontributor: Abdullah Azzam