Ketika Cinta Tanah Air Menjadi Sedekah untuk Bumi
Rachma Dwiyanti

By Yudhiarma 20 Agu 2025, 11:40:18 WIB Cerpen
Ketika Cinta Tanah Air Menjadi Sedekah untuk Bumi

Keterangan Gambar : Foto: Asistensi AI


Udara Jakarta pada pagi 17 Agustus 2025 terasa lebih panas dari biasanya. Di lapangan kampus, para mahasiswa berdiri tegak mengikuti upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-80. Musik orkestra “Indonesia Raya” mengalun dengan khidmat, bendera merah putih pun berkibar gagah di tiang tertinggi. Dari jauh tampak lautan wajah yang penuh semangat, namun mata Alya justru terpaku pada tumpukan gelas plastik dan sisa makanan yang berserakan di belakang tenda peserta. Hatinya mendadak perih.

“Ironis,” gumamnya lirih, “kita merayakan kemerdekaan, tapi bumi masih terjajah oleh ulah kita sendiri.”

Di sebelahnya, Raka—sahabat sekaligus partner risetnya—menoleh dengan ekspresi santai. “Alya, tolonglah. Kita di sini untuk upacara dan lomba orasi, bukan jadi polisi sampah,” ucapnya, setengah bercanda.

Baca Lainnya :

Alya melotot, nadanya tajam. “Justru di hari ini kita harus jujur. Apa artinya teriak ‘Merdeka!’ kalau bumi kita hancur? Rasulullah pernah bilang, bumi ini amanah. Kalau kita merusaknya, itu sama saja mengkhianati amanah Allah.”

Raka tertawa kecil, agak sinis. “Kamu selalu ribut soal itu. Kadang aku merasa kamu lebih cinta pohon daripada manusia.”

Ucapan itu menusuk hati Alya. Mereka memang sering berbeda pandangan. Alya adalah tipe mahasiswa idealis, teliti, percaya bahwa perubahan hanya bisa lahir dari data, aksi nyata, dan nilai iman. Sedangkan Raka, mahasiswa Ilmu Komunikasi yang pandai bicara, lebih menekankan kekuatan retorika untuk membangkitkan semangat. Perbedaan karakter itulah yang sejak lama membuat hubungan mereka seperti tarik-ulur, penuh debat, tapi anehnya selalu membuat keduanya tak bisa benar-benar berjauhan.

Beberapa minggu sebelumnya, keduanya ditunjuk mewakili kampus dalam lomba penelitian dan orasi nasional bertema “Merdeka untuk Bumi: Refleksi Generasi Z terhadap Kemerdekaan dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan.” Alya langsung menyelami literatur tentang green campus, gaya hidup ramah lingkungan, industri halal berkelanjutan, serta peran zakat dan wakaf produktif. Menurutnya, nasionalisme hari ini bukan lagi sekadar nostalgia sejarah, melainkan keberanian menjaga masa depan bumi dan memastikan kesejahteraan umat.

Sebaliknya, Raka lebih banyak mengasah kalimat-kalimat heroik. “Kita harus membuat audiens bergetar. Bicara tentang darah pahlawan, tentang api kemerdekaan. Itu yang bikin orang merasa nasionalis,” katanya berapi-api sambil berlatih di depan cermin.

“Tidak cukup hanya menggugah emosi,” bantah Alya tegas. “Kalau nasionalisme hanya berhenti di kata-kata, itu cuma jadi jargon. Kita harus menunjukkan solusi nyata—tentang sampah, energi, dan bagaimana filantropi Islam bisa mendukung ekonomi hijau. Bayangkan kalau zakat, infak, dan wakaf diarahkan untuk energi terbarukan atau program pengelolaan sampah. Itu bukan sekadar ibadah, tapi jihad menjaga bumi.”

Perdebatan itu berulang kali membuat keduanya saling diam. Hubungan yang tadinya hangat sebagai sahabat kini diwarnai ketegangan.

Hari penentuan pun tiba. Setelah upacara, giliran mereka mempresentasikan hasil penelitian. Aula kampus penuh sesak, juri dari kementerian, dosen, dan perwakilan lembaga zakat duduk di barisan depan. Alya menggenggam naskahnya erat, sementara Raka mengatur napas dalam-dalam.

Alya membuka presentasi dengan data yang padat. Suaranya tegas, meski sedikit bergetar karena gugup. “Setiap tahun, Indonesia menghasilkan tujuh juta ton sampah plastik. Enam puluh persen energi kita masih bergantung pada bahan bakar fosil. Jika pola ini terus berlanjut, maka kemerdekaan masa depan hanya tinggal cerita. Namun Islam telah memberi jalan: zakat untuk memberdayakan masyarakat miskin agar mandiri, wakaf untuk membangun infrastruktur hijau, dan sedekah untuk gerakan sosial menjaga lingkungan. Dengan filantropi Islam, kita bisa mengubah krisis jadi kesempatan.”

Beberapa audiens mengangguk, bahkan juri dari BAZNAS tampak menuliskan sesuatu. Alya melanjutkan dengan yakin, menekankan pentingnya eco-lifestyle dan peluang besar industri halal berkelanjutan yang bisa menjadi daya saing global.

Saat suasana mulai meredup, Raka maju mengambil alih. Wajahnya tegang sesaat, tapi kemudian sorot matanya berubah penuh api. “Kita sering berteriak ‘Merdeka!’ dengan gagah. Tapi apa arti merdeka jika udara penuh racun? Apa arti cinta tanah air jika tanahnya longsor dan banjir? Delapan puluh tahun lalu para pahlawan melawan penjajah asing. Hari ini, musuh kita adalah krisis iklim, kemiskinan, dan ketidakadilan sosial! Di sinilah filantropi Islam menjadi senjata kita. Zakat bukan hanya untuk konsumsi, tapi untuk pemberdayaan. Wakaf bukan hanya kuburan, tapi masa depan. Sedekah bukan hanya receh, tapi energi perubahan!”

Ruangan mendadak hening. Setiap kalimat Raka terdengar menggema. “Nasionalisme generasi Z adalah keberanian menjaga bumi dengan iman. Kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari belenggu penjajahan manusia, tapi juga tanggung jawab memastikan bumi tidak dijajah oleh keserakahan. Merah putih hanya akan abadi jika langit tetap biru, bukan kelabu. Dan bumi hanya akan terjaga jika kita berani menjadikannya ladang filantropi.”

Gemuruh tepuk tangan pun pecah. Beberapa mahasiswa berdiri memberi apresiasi. Alya menatap Raka dengan mata berkaca-kaca, baru menyadari bahwa retorika Raka tak hanya puitis, tapi juga berhasil menyampaikan pesan Islam dan lingkungan dengan dahsyat.

Malam itu, pengumuman hasil lomba disampaikan. Nama Alya dan Raka disebut sebagai juara pertama. Aula bergemuruh lagi, kali ini dengan sorakan penuh semangat. Para juri memuji kolaborasi keduanya: Alya dengan data dan literatur Islam yang kuat, Raka dengan penyampaian yang menyentuh hati.

Di luar aula, suasana lebih tenang. Lampu sorot menerangi bendera merah putih yang masih berkibar anggun. Alya dan Raka duduk berdampingan di tangga, memegang piagam juara.

“Aku salah menilaimu,” kata Alya pelan. “Kamu benar, retorika itu penting. Kamu bikin pesanku jadi hidup.”

Raka tersenyum. “Dan aku juga salah. Aku kira data hanya bikin bosan. Tapi ternyata, tanpa data dan nilai Islam, kata-kataku kosong.”

Keduanya tertawa kecil, ketegangan yang selama ini menyesakkan seolah mencair. Alya menatap Raka sejenak, lalu dengan nada ragu ia berkata, “Jadi… kita partner riset, partner dakwah filantropi, sekaligus… partner hidup?”

Raka terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan Alya dengan hangat. “Merdeka dalam cinta. Merdeka untuk bumi. Dan merdeka untuk berbagi.”

Di langit malam, bendera merah putih tetap berkibar ditemani sorot lampu. Di hati keduanya, ada janji baru: mereka akan terus berjuang, bukan hanya demi kemenangan lomba, tapi demi bumi yang layak dihuni dan umat yang sejahtera. Kemerdekaan tahun itu menjadi saksi bahwa cinta tanah air generasi muda bukan sekadar seremonial, melainkan keberanian menjaga masa depan bersama dengan spirit filantropi Islam.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment