- Laznas WIZ Salurkan Mushaf Al-Quran dan Buku Iqra
- Bantu Warga Dhuafa, Target Zakat di Jawa Barat Ditingkatkan
- Solopeduli Berbagi Mushaf Baru untuk Rumah Tahfiz Quran
- Rumah Yatim Bantu Biaya Hidup Lansia Prasejahtera di Garut
- Perkuat Sinergi, NPC Perpanjang Kerja Sama MPZ dengan DT Peduli
- Generasi Unggul, PYI Dukung Program Kampung Zakat Tasikmalaya
- WIZ Parigi Salurkan Paket Alat Tulis untuk Anak Pedalaman Sirombiu
- Pembinaan Mustahik RSP IZI Jakarta: Menguatkan Hati dengan Syukur dan Sabar
- Ingin Sukses Jadi Hafiz Quran, Beasiswa OTA Solopeduli Bantu Raditya Bersekolah
- Ekspedisi Kemerdekaan Rumah Zakat untuk Peduli Pendidikan Anak Dusun Balocci
Ketika Cinta Tanah Air Menjadi Sedekah untuk Bumi
Rachma Dwiyanti

Keterangan Gambar : Foto: Asistensi AI
Udara Jakarta pada pagi 17 Agustus 2025 terasa lebih panas dari biasanya. Di lapangan kampus, para mahasiswa berdiri tegak mengikuti upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-80. Musik orkestra “Indonesia Raya” mengalun dengan khidmat, bendera merah putih pun berkibar gagah di tiang tertinggi. Dari jauh tampak lautan wajah yang penuh semangat, namun mata Alya justru terpaku pada tumpukan gelas plastik dan sisa makanan yang berserakan di belakang tenda peserta. Hatinya mendadak perih.
“Ironis,”
gumamnya lirih, “kita merayakan kemerdekaan, tapi bumi masih terjajah oleh ulah
kita sendiri.”
Di sebelahnya,
Raka—sahabat sekaligus partner risetnya—menoleh dengan ekspresi santai. “Alya,
tolonglah. Kita di sini untuk upacara dan lomba orasi, bukan jadi polisi
sampah,” ucapnya, setengah bercanda.
Baca Lainnya :
- Reinkarnasi Bandung Lautan Api0
- Tiga Malam untuk Selembar Merah Putih0
- Nasi Bungkus Lauk Mewah0
- Jejak di Antara Dua Takdir0
- Langkah di Balik Hujan 0
Alya melotot,
nadanya tajam. “Justru di hari ini kita harus jujur. Apa artinya teriak
‘Merdeka!’ kalau bumi kita hancur? Rasulullah pernah bilang, bumi ini amanah.
Kalau kita merusaknya, itu sama saja mengkhianati amanah Allah.”
Raka tertawa
kecil, agak sinis. “Kamu selalu ribut soal itu. Kadang aku merasa kamu lebih
cinta pohon daripada manusia.”
Ucapan itu
menusuk hati Alya. Mereka memang sering berbeda pandangan. Alya adalah tipe
mahasiswa idealis, teliti, percaya bahwa perubahan hanya bisa lahir dari data,
aksi nyata, dan nilai iman. Sedangkan Raka, mahasiswa Ilmu Komunikasi yang
pandai bicara, lebih menekankan kekuatan retorika untuk membangkitkan semangat.
Perbedaan karakter itulah yang sejak lama membuat hubungan mereka seperti
tarik-ulur, penuh debat, tapi anehnya selalu membuat keduanya tak bisa
benar-benar berjauhan.
Beberapa minggu
sebelumnya, keduanya ditunjuk mewakili kampus dalam lomba penelitian dan orasi
nasional bertema “Merdeka untuk Bumi: Refleksi Generasi Z terhadap
Kemerdekaan dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan.” Alya langsung
menyelami literatur tentang green campus, gaya hidup ramah lingkungan, industri
halal berkelanjutan, serta peran zakat dan wakaf produktif. Menurutnya,
nasionalisme hari ini bukan lagi sekadar nostalgia sejarah, melainkan
keberanian menjaga masa depan bumi dan memastikan kesejahteraan umat.
Sebaliknya,
Raka lebih banyak mengasah kalimat-kalimat heroik. “Kita harus membuat audiens
bergetar. Bicara tentang darah pahlawan, tentang api kemerdekaan. Itu yang
bikin orang merasa nasionalis,” katanya berapi-api sambil berlatih di depan
cermin.
“Tidak cukup
hanya menggugah emosi,” bantah Alya tegas. “Kalau nasionalisme hanya berhenti
di kata-kata, itu cuma jadi jargon. Kita harus menunjukkan solusi nyata—tentang
sampah, energi, dan bagaimana filantropi Islam bisa mendukung ekonomi hijau.
Bayangkan kalau zakat, infak, dan wakaf diarahkan untuk energi terbarukan atau
program pengelolaan sampah. Itu bukan sekadar ibadah, tapi jihad menjaga bumi.”
Perdebatan itu
berulang kali membuat keduanya saling diam. Hubungan yang tadinya hangat
sebagai sahabat kini diwarnai ketegangan.
Hari penentuan
pun tiba. Setelah upacara, giliran mereka mempresentasikan hasil penelitian.
Aula kampus penuh sesak, juri dari kementerian, dosen, dan perwakilan lembaga
zakat duduk di barisan depan. Alya menggenggam naskahnya erat, sementara Raka
mengatur napas dalam-dalam.
Alya membuka
presentasi dengan data yang padat. Suaranya tegas, meski sedikit bergetar
karena gugup. “Setiap tahun, Indonesia menghasilkan tujuh juta ton sampah
plastik. Enam puluh persen energi kita masih bergantung pada bahan bakar fosil.
Jika pola ini terus berlanjut, maka kemerdekaan masa depan hanya tinggal
cerita. Namun Islam telah memberi jalan: zakat untuk memberdayakan masyarakat
miskin agar mandiri, wakaf untuk membangun infrastruktur hijau, dan sedekah
untuk gerakan sosial menjaga lingkungan. Dengan filantropi Islam, kita bisa
mengubah krisis jadi kesempatan.”
Beberapa
audiens mengangguk, bahkan juri dari BAZNAS tampak menuliskan sesuatu. Alya
melanjutkan dengan yakin, menekankan pentingnya eco-lifestyle dan peluang besar
industri halal berkelanjutan yang bisa menjadi daya saing global.
Saat suasana
mulai meredup, Raka maju mengambil alih. Wajahnya tegang sesaat, tapi kemudian
sorot matanya berubah penuh api. “Kita sering berteriak ‘Merdeka!’ dengan
gagah. Tapi apa arti merdeka jika udara penuh racun? Apa arti cinta tanah air
jika tanahnya longsor dan banjir? Delapan puluh tahun lalu para pahlawan
melawan penjajah asing. Hari ini, musuh kita adalah krisis iklim, kemiskinan,
dan ketidakadilan sosial! Di sinilah filantropi Islam menjadi senjata kita.
Zakat bukan hanya untuk konsumsi, tapi untuk pemberdayaan. Wakaf bukan hanya
kuburan, tapi masa depan. Sedekah bukan hanya receh, tapi energi perubahan!”
Ruangan
mendadak hening. Setiap kalimat Raka terdengar menggema. “Nasionalisme generasi
Z adalah keberanian menjaga bumi dengan iman. Kemerdekaan sejati bukan hanya
bebas dari belenggu penjajahan manusia, tapi juga tanggung jawab memastikan
bumi tidak dijajah oleh keserakahan. Merah putih hanya akan abadi jika langit
tetap biru, bukan kelabu. Dan bumi hanya akan terjaga jika kita berani
menjadikannya ladang filantropi.”
Gemuruh tepuk
tangan pun pecah. Beberapa mahasiswa berdiri memberi apresiasi. Alya menatap
Raka dengan mata berkaca-kaca, baru menyadari bahwa retorika Raka tak hanya
puitis, tapi juga berhasil menyampaikan pesan Islam dan lingkungan dengan
dahsyat.
Malam itu,
pengumuman hasil lomba disampaikan. Nama Alya dan Raka disebut sebagai juara
pertama. Aula bergemuruh lagi, kali ini dengan sorakan penuh semangat. Para
juri memuji kolaborasi keduanya: Alya dengan data dan literatur Islam yang
kuat, Raka dengan penyampaian yang menyentuh hati.
Di luar aula,
suasana lebih tenang. Lampu sorot menerangi bendera merah putih yang masih
berkibar anggun. Alya dan Raka duduk berdampingan di tangga, memegang piagam
juara.
“Aku salah
menilaimu,” kata Alya pelan. “Kamu benar, retorika itu penting. Kamu bikin
pesanku jadi hidup.”
Raka tersenyum.
“Dan aku juga salah. Aku kira data hanya bikin bosan. Tapi ternyata, tanpa data
dan nilai Islam, kata-kataku kosong.”
Keduanya
tertawa kecil, ketegangan yang selama ini menyesakkan seolah mencair. Alya
menatap Raka sejenak, lalu dengan nada ragu ia berkata, “Jadi… kita partner
riset, partner dakwah filantropi, sekaligus… partner hidup?”
Raka terdiam
sejenak, lalu menggenggam tangan Alya dengan hangat. “Merdeka dalam cinta.
Merdeka untuk bumi. Dan merdeka untuk berbagi.”
Di langit
malam, bendera merah putih tetap berkibar ditemani sorot lampu. Di hati
keduanya, ada janji baru: mereka akan terus berjuang, bukan hanya demi
kemenangan lomba, tapi demi bumi yang layak dihuni dan umat yang sejahtera.
Kemerdekaan tahun itu menjadi saksi bahwa cinta tanah air generasi muda bukan
sekadar seremonial, melainkan keberanian menjaga masa depan bersama dengan
spirit filantropi Islam.