Reinkarnasi Bandung Lautan Api
Fitria Susilawati

By Yudhiarma 20 Agu 2025, 10:54:26 WIB Cerpen
Reinkarnasi Bandung Lautan Api

Keterangan Gambar : Foto: Asistensi AI


Arga menatap layar laptopnya yang penuh dengan kode program, sementara Nayla sibuk membuka grafik pertumbuhan startup digital di tablet. Mereka duduk berdampingan di ruang laboratorium kampus, tempat eksperimen kecerdasan buatan dan quantum computing. Proyek mereka sederhana dalam ide, tetapi ambisius dalam tujuan: menghubungkan sejarah perjuangan bangsa dengan dunia digital yang digandrungi generasi mereka.

“Kalau Gen Z sibuk bikin konten viral, siapa yang peduli lagi dengan kisah perjuangan 1946?” gumam Nayla.

Arga tersenyum tipis. “Makanya kita buat aplikasi VR sejarah ini. Supaya mereka bisa merasakan perjuangan, bukan cuma membaca teks buku.”

Baca Lainnya :

Namun takdir punya rencana lain. Di tengah pengujian, mesin berwujud kubus logam dengan sirkuit bercahaya itu bergetar hebat. Arga mencoba mematikannya, tapi cahaya putih menyilaukan menyapu ruangan. Sekejap, dunia di sekeliling mereka lenyap.

Mereka terbatuk-batuk. Aroma asap menusuk hidung. Bukan asap mesin, melainkan bau kayu terbakar. Ketika mata mereka menyesuaikan, terlihat jalanan batu, rumah-rumah kayu, dan orang-orang berlarian sambil membawa karung. Tidak ada mobil listrik, tidak ada gedung kaca, apalagi jaringan 5G. Hanya kota tua yang penuh kecemasan.

“Ini… Bandung?” bisik Nayla terkejut.

Seorang pemuda berusia sekitar 19 tahun menghampiri mereka. Bajunya lusuh, matanya tajam. “Kalian dari mana? Cepat bantu kami evakuasi barang-barang! Belanda sudah mendekat!”

Arga dan Nayla berpandangan. Mereka sadar: mesin waktu benar-benar melempar mereka ke masa lalu.

Nama pemuda itu Hasan. Ia memperkenalkan diri di sela kesibukan. “Malam ini kota akan dibakar. Lebih baik hangus daripada jatuh ke penjajah.”

Nayla tercekat. Membakar rumah? Membakar kota? Ia teringat bagaimana anak-anak seangkatannya lebih sibuk memperebutkan voucher diskon belanja online. Kontrasnya membuat dadanya sesak.

Hari-hari berikutnya, Arga dan Nayla ikut membantu rakyat. Mereka menimba air, mengangkat anak-anak ke pengungsian, dan mendengar cerita para pejuang muda yang rela mati demi merdeka. Malam sebelum api dinyalakan, Nayla bertanya lirih kepada Hasan.

“Kenapa harus sejauh ini? Rumah, toko, semua hangus…”

Hasan menatapnya mantap. “Kemerdekaan bukan tentang apa yang kita punya hari ini, tapi tentang apa yang akan dimiliki anak cucu kita. Kalau harus membayar dengan rumah, bahkan nyawa, itu harga yang pantas.”

Kata-kata itu menancap dalam hati Nayla.

Malam 23 Maret 1946 tiba. Langit Bandung merah membara. Api menjilat gedung-gedung, rumah-rumah roboh menjadi bara. Orang-orang menangis, berdoa, tetapi juga berdiri gagah, seakan api itu adalah simbol kemerdekaan yang tak bisa dipadamkan.

Arga ingin sekali mengeluarkan smartphone untuk merekam. Tangannya gemetar, tapi ia urungkan. “Sejarah bukan untuk diubah,” gumamnya. Mereka hanya bisa menyaksikan, menyimpan semua dalam ingatan.

Di tengah kekacauan, Hasan terluka saat membantu warga keluar dari kota. Nayla berlari menolongnya, membalut lukanya dengan kain seadanya. Hasan tersenyum lemah. “Kalau kalian kembali ke zamanmu… jangan lupakan kami. Perjuangan ini tidak boleh mati.”

Cahaya putih kembali muncul. Mesin waktu yang mereka pikir sudah hilang kini berputar lagi. Dalam sekejap, Bandung yang terbakar memudar. Mereka kembali ke laboratorium, dengan napas terengah dan mata berkaca-kaca.

Kini, Arga dan Nayla tak lagi sama. Mereka menatap layar komputer dengan tujuan baru. Arga membangun startup EduHistory, sebuah aplikasi VR/AR yang membuat siswa bisa “masuk” ke peristiwa sejarah, menyaksikan Bandung Lautan Api seolah nyata. Nayla mengembangkan platform SociaPreneur Digital, yang menghubungkan semangat gotong royong dengan bisnis kreatif generasi muda.

Mereka sadar, generasi 1946 berjuang dengan api dan darah. Generasi 2025 harus berjuang dengan inovasi, ilmu, dan integritas di tengah derasnya arus ekonomi digital. Musuh mereka bukan lagi senjata, tetapi ketergantungan, kelalaian, dan hilangnya identitas.

Pada peluncuran pertama aplikasi EduHistory, Arga menyalakan simulasi Bandung Lautan Api. Di tengah kobaran virtual, samar-samar muncul siluet Hasan. Bukan bagian dari program. Hanya bayangan, atau mungkin pesan.

Nayla menggenggam tangan Arga. “Mungkin api itu memang menitipkan estafet perjuangan pada kita.”

Layar menyala merah, seolah api itu tak pernah padam. Dan di hati mereka, semangat Bandung Lautan Api menyala abadi bukan lagi dengan kobaran rumah yang terbakar, melainkan dengan nyala kreativitas dan tekad generasi baru.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment