- Filantropi India-Amerika: Tradisi Menabur Perubahan dan Menginspirasi Berbagi
- Agar Produktif dan Melek Teknologi, Pemerintah Hadirkan Program Sekolah Lansia
- Kemenag Dorong Lebih Banyak Perempuan Ikut Beasiswa Indonesia Bangkit
- Ivan Gunawan dan BAZNAS Bawa Langsung Rp 2 M Donasi Palestina ke Mesir
- Hari Tani Nasional: Filantropi Islam untuk Kedaulatan Pangan
- Memperkuat Demokrasi melalui Ziswaf
- Mendamaikan Dunia dengan Filantropi Islam
- Saudara Sepersusuan: Hukum dan Batasannya Menurut Islam
- Destana Kembang dan Rumah Zakat Gelar Aksi Jaga Mangrove
- IZI Ringankan Biaya Pengobatan Ghaitsa, Pejuang Kecil Down Syndrome
Tangan Tak Terlihat
Marie Muhammad Wildan

Keterangan Gambar : Dibuat oleh AI Chat GPT
Di sebuah desa yang letaknya jauh dari hiruk pikuk kota, berdiri sebuah sekolah dasar sederhana dengan atap seng dan dinding papan. Di sana, anak-anak datang bukan karena fasilitas, melainkan karena harapan—sebuah pintu kecil menuju masa depan yang lebih baik.
Di antara mereka, ada seorang anak bernama Rafi. Ia cerdas, rajin, dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Namun, keluarganya sangat miskin. Ayahnya seorang buruh tani, dan ibunya sudah lama sakit-sakitan. Biaya sekolah, seragam, bahkan buku tulis menjadi beban berat. Tapi anehnya, setiap kali mereka kesulitan, selalu saja ada seseorang yang membayar SPP Rafi, mengirimkan alat tulis, bahkan membantu biaya pengobatan ibunya—semuanya tanpa nama.
“Ini rezeki, Nak. Jangan banyak tanya. Syukuri saja,” kata ayahnya suatu ketika.
Baca Lainnya :
- Dam untuk Mereka yang Lapar0
- Bantuan Modal BAZNAS Tingkatkan Omzet Warung Mustainah 0
- Berkat BAZNAS, UMKM Nasi Cokot Tembus Setengah Juta Omzet Harian0
- BAZNAS Tanggulangi Anemia pada Remaja Putri Yogyakarta 0
- Z-Auto, Bukti Keberhasilan BAZNAS Berdayakan Mustahik di Banten0
Namun rasa penasaran Rafi semakin besar seiring waktu. Siapa sosok dermawan itu? Kenapa ia tak pernah mau menunjukkan diri? Apakah orang itu tinggal di desa ini?
Suatu sore sepulang sekolah, Rafi mulai menyelidiki. Ia bertanya pada guru, penjaga sekolah, bahkan tukang warung. Tak satu pun memberi jawaban pasti. Semua hanya tersenyum dan berkata, “Ada tangan-tangan yang tak ingin dikenal dan dilihat.”
Sampai suatu hari, Rafi melihat sesuatu yang ganjil. Saat ia lewat di depan rumah Pak Darto—seorang pria tua yang tinggal sendiri di ujung desa—ia melihat Pak Darto memasukkan sejumlah uang ke dalam amplop, lalu meletakkannya dalam tas plastik dan memberikannya pada tukang ojek langganan sekolah.
“Titip ini ke Bu Rina, ya. Bilang dari ‘yang menitipkan’,” kata Pak Darto pelan.
Rafi menahan napas. Ia tahu Bu Rina adalah bendahara sekolah. Dan “yang menitipkan” adalah sebutan yang selalu muncul dalam amplop bantuan selama ini.
Esoknya, Rafi memberanikan diri datang ke rumah Pak Darto. Rumahnya tua dan berdebu. Tak ada kemewahan, hanya rak penuh buku dan alat pertukangan. Pak Darto tersenyum saat melihat Rafi.
“Kamu datang, Nak. Mau apa?” tanyanya lembut.
Rafi menunduk. “Saya hanya ingin bilang... terima kasih.”
Pak Darto terdiam lama. Lalu ia berkata, “Kenapa kamu yakin itu aku?”
Rafi menunjuk amplop yang masih tersisa di meja. “Saya melihat kemarin.”
Pak Darto menghela napas. “Aku hanya mencoba membantu, Nak. Dulu aku seorang guru. Tapi sejak pensiun dan anak-anakku pergi ke kota, aku merasa kosong. Sampai suatu hari aku lihat anak-anak seperti kamu... berjuang keras untuk belajar meski hidup tak ramah.”
Ia menatap langit-langit rumahnya yang mulai retak.
“Aku tak punya banyak, tapi cukup untuk berbagi sedikit. Aku tak ingin dikenal. Aku hanya ingin kalian terus belajar, jadi orang baik, dan suatu hari mungkin... jadi tangan tak terlihat juga.”
Rafi menahan air matanya. Ia tak menyangka, di balik rumah tua yang sunyi, ada hati yang begitu besar. Ia memeluk Pak Darto erat.
Bertahun-tahun kemudian, nama Pak Darto tetap tak pernah disebut di majalah atau berita. Tapi di hati banyak anak desa yang kini tumbuh dewasa, lulus kuliah, dan menjadi guru, perawat, bahkan pengusaha kecil, nama itu menjadi bisikan penuh hormat: “Tangan yang Tak Terlihat.”
Dan Rafi, kini menjadi guru di sekolah tempat ia dulu belajar. Setiap bulan, ia menyisihkan sebagian gajinya untuk membayar SPP murid-murid yang kesulitan. Ia tak pernah menulis namanya di sana. Hanya sebuah catatan kecil di amplop putih:
“Dari yang pernah menerima kebaikan.”