- Perkuat Usaha Mustahik, BAZNAS Dukung Cici Lewat Bantuan Freezer untuk Gerai Z-Chicken
- Inovasi Petani Mustahik di Teluknaga: Bukti Peran Strategis BAZNAS dalam Pemberdayaan Umat
- Kurban, Ibadah yang Dianjurkan di Bulan Zulhijah
- Sejarah dan Tujuan Ibadah Kurban Menurut Sejarah Islam
- Bantuan BAZNAS Ubah Nuraena Jadi Mustahik Saudagar Ayam Krispi
- BAZNAS Bali dan Komunitas Kemanusiaan Bantu Tangani Jenazah Telantar
- Kemenag NTB Luncurkan Wakaf Berbasis QRIS
- Rumah Zakat Ikut Meriahkan Hari Kesiapsiagaan Bencana 2025
- LAZISNU Pati Bantu Korban Puting Beliung
- LAZISNU Sidoarjo Kembali Distribusikan Bantuan Modal UMKM
Dari Masjid ke Lembaga: Zakat Dulu dan Sekarang, Masihkah Ruhnya Sama?
Ilham Aidil Fitrah
Di sebuah kantor modern ber-AC di tengah kota metropolitan, beberapa petugas sibuk memeriksa data mustahik (penerima zakat) yang masuk lewat aplikasi digital. Di layar monitor, angka-angka zakat terkumpul dari berbagai penjuru negeri terlihat terus bertambah. Zakat kini dikelola dengan sistem, teknologi, dan prosedur yang rapi—bahkan bisa dilakukan hanya dengan sekali klik.
Namun jauh sebelum zakat mengenal istilah QRIS, big data, atau lembaga amil profesional, zakat adalah urusan langsung antara pemimpin dan umat. Ia bukan sekadar transaksi sosial, melainkan bagian dari denyut kehidupan masyarakat Islam di masa Nabi Muhammad SAW.
Lantas, bagaimana sesungguhnya pendistribusian zakat dulu dan sekarang? Apa yang berubah, dan apa yang tetap?
Baca Lainnya :
Zakat di Masa Nabi: Langsung, Transparan, dan Terikat Spiritualitas
Pada masa Nabi Muhammad SAW, zakat dikelola secara langsung oleh negara—dalam hal ini pemimpin umat. Nabi menugaskan para amil zakat (petugas zakat) untuk turun ke masyarakat, mencatat harta yang wajib dizakati, lalu mengumpulkannya dan membagikannya kepada delapan golongan yang berhak, sebagaimana disebut dalam Surah At-Taubah ayat 60.
“Zakat bukan hanya dana sosial,” kata Ustaz Khalid Hamid, seorang pengkaji sejarah Islam. “Ia adalah sistem pemerataan kekayaan yang dikelola negara secara langsung, dan penyalurannya dilakukan secara cepat serta tepat sasaran.”
Distribusinya pun dilakukan di wilayah zakat itu dikumpulkan. Artinya, zakat dari penduduk Madinah, misalnya, digunakan untuk membantu masyarakat Madinah sendiri—kecuali jika sudah tidak ada lagi yang membutuhkan di sana.
Zakat Masa Kini: Modern, Terdigitalisasi, Tapi Jauh dari Umat?
Zaman berubah. Kini zakat banyak dikelola oleh lembaga amil zakat (LAZ) atau badan amil zakat (BAZ) yang bersertifikasi. Dengan teknologi dan pendekatan profesional, zakat dikumpulkan secara daring, disimpan di rekening bank, lalu disalurkan dalam berbagai bentuk: mulai dari bantuan langsung tunai, pelatihan keterampilan, beasiswa, hingga program ekonomi produktif seperti peternakan dan UMKM.
Di satu sisi, ini adalah kemajuan. Zakat tidak lagi bersifat karitatif semata, tapi mulai diarahkan untuk empowerment—memberdayakan mustahik agar bisa menjadi muzakki (pemberi zakat) di masa depan.
Namun, ada juga tantangan: jarak antara pemberi dan penerima zakat kini melebar. Banyak yang tak tahu ke mana tepatnya zakat mereka disalurkan, siapa yang menerimanya, dan bagaimana dampaknya. Beberapa kritik muncul: “Apakah zakat sudah benar-benar menyentuh akar kemiskinan? Atau sekadar angka laporan tahunan yang manis dibaca?”
Ruh yang Harus Dijaga
Walaupun mekanisme pengelolaan zakat kini lebih kompleks dan canggih, para ulama dan aktivis sosial mengingatkan bahwa ruh zakat tak boleh hilang. Ia bukan semata instrumen ekonomi, tapi juga bentuk ibadah dan solidaritas kemanusiaan.
"Yang terpenting bukan hanya bagaimana zakat dihitung, tapi bagaimana ia menyentuh hati," ujar Salma Nur Azizah, pengurus salah satu LAZ nasional. “Karena dari situlah keadilan sosial Islam dibangun—dengan empati, bukan hanya efisiensi.”
Teknologi Boleh Maju, Tapi Jangan Lupa Arah Tuju
Zakat adalah instrumen sosial yang telah melintasi zaman. Ia bertransformasi dari pengumpulan sederhana di masjid Nabawi menjadi sistem digital yang bisa menjangkau pelosok negeri. Namun pertanyaannya, apakah semangat awalnya masih hidup?
Karena jika zakat hanya menjadi kewajiban tahunan tanpa menyentuh nurani, maka ia akan kehilangan maknanya. Di sinilah umat harus kembali bertanya: zakat kita hari ini—apakah masih seperti yang Rasulullah ajarkan?